Sebenarnya saya sudah menyiapkan semacam contekan yang dijepret di kartu undangan pernikahan, diatur sedemikian rupa agar mudah dibaca saat penyampaian Pengaksama Upacara Pawiwahan kemarin. Jaga-jaga siapa tahu kelupaan, atau macet konsentrasi di tengah jalan.
Tapi 'kesombongan' saya mengalahkan upaya ini. Mengingat pada H-2 rasa-rasanya semua paragraf yang disusun oleh pak @made salah satu mentor saya dalam pembelajaran ini, sudah bisa dilafalkan berulang kali dalam tempo 9 menitan itu.
Sayangnya, setelah dievaluasi kembali kemarin pagi, rupanya ada beberapa kata/kalimat yang tidak/kelupaan saya ucapkan/sampaikan di agenda perkawinan kemarin. Diantaranya...
1. Kalimat pelengkap sapaan kepada Ida Sri Empu sane muput upakara, yang mana seharusnya diselipkan -sane meraga suci/dahat suciang titiang, saha kapisinggihang titiang.
2. Menyapa Audience atau undangan yang hadir saat itu dimana ada Bapak Perbekel Dangin Puri Kaja, Penglingsir Jero Tainsiat, dan Penglingsir Geriya Keniten. Yang mana seharusnya diselipkan pula diantara para undangan yang dihormati, di awal penyampaian Sambutan.
3. Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang seharusnya diselipkan pada bagian Isi Penyampaian sebelum menyebutkan parikrama atau upacara yang sudah dilakukan hingga hari itu.
Saya pribadi baru menyadari kurangnya penyampaian atau penyebutan itu saat masuk ke kalimat berikutnya. Jadi cukup sulit juga mengembalikan ke kalimat sebelumnya apalagi sudah berada dalam konteks yang berbeda.
Yah, ini sudah merupakan pengalaman pertama yang tak terlupakan, mengingat adanya kesalahan/kelupaan penyebutan yang cukup krusial. Meski secara tersirat sudah terwakili oleh penyampaian kalimat yang lain. Kata beberapa orang yang mendengarkan penyampaian itu dengan seksama.
Comments
Post a Comment