IBU SAYA DAN MEAGAMA YANG SANTAI
Ibu saya sudah berumur 90-an kini, sudah pikun dan senang main ceki. Dia ibu yang asyik dalam soal mengajarkan anak-anaknya megame alah nak Bali. Ibu saya tidak pernah menakuti-nakuti soal apapun jika berkaitan dengan betare, kawitan, soal membanten; ibu saya termasuk ibu yang sangat relaks. Bahkan kadang membuat saya tersenyum jika mengingat; hal-hal kecil yang membuat logika, nalar saya tersentak;
Suatu hari, ibu menata canang dan segehan, sejumlah yang akan dihaturkan di seluruh rumah. Ibu saya memercikan air, kemudian pelukatan, kemudian tirta. Lalu memasang dupa diantara apitan canang-canang. Lalu segehan itu ditaburi garam, diperciki arak berem; Ibu saya kemudian berucap pelahan; "Tiang leleh pisan, ten nyidayang keliling, niki titiang ngayat sareng sane nuwenang jagat, sane nuwenang karange, rauh jebos meriki...."---Saya yang berdiri tak jauh darinya tak bisa tidak menahan tawa, dan berucap,"saya yang membanten...kalau ibu lelah"
Ibu saya menjawab,"sudah...dalam agama kita ngayat itu boleh, dan selalu sebenarnya kita ngayat.." Ibu saya lalu menjelaskan mengenai, soal ngayat; membayangkan 'yang dipuja' dari jarak yang jauh,"kalau kamu merantau, kalau kamu dimana saja, ngayat....itu akan membuat semua btara akan nghyangin dirimu"
Ibu saya memang kadang memiliki naluri yang mengundang senyum jika berurusan dengan sikap religius; suatu hari, saya ingat, Btara lingsir dari Lempuyang akan prosesi ke laut dan akan melintas di hadapan rumah. Semua tetangga sibuk dari beberapa hari membuat sajen; ibu saya justru membuat yeh rujak; ini terbuat dari air kelapa, di isi sambel terasi, jeruk tipis; es batu; ibu saya membeli tiga atau empat ember besar, mencari tenaga bantuan untuk mengangkat ember-ember penuh rujak itu, lalu saya dan adik saya diajaknya duduk ditepi jalan, menanti prosesi liwat. Semua tetangga menghatur keben penuh banten; sementara ibu saya mengajak saya dan adik saya yang masih kecil menghaturkan air rujak kepada para peserta prosesi, yang saat itu memang belum dikenal ada air mineral kemasan. Itu bagian terindah yang sangat saya ingat.
Ibu tidak pernah meminta saya menghapal tri sandya dan apa saja soal urusan muspa, banten, tetapi ibu saya justru mengenalkan kepada saya soal mona brata; caranya dengan gaya yang sangat santai; yang diceritakan soal para pedande yang melakukan mona brata dan kemudian pedande-pedande lain berperan menjadi penggoda.....jadi brata itu harus ada gegodan; jika tertawa dalam semadi, maka gagal-lah mona brata itu....jadi dalam pikiran saya sejak kanak, brata itu tidak tenget, tapi bisa jadi mengundang gelak tawa.
Ibu saya banyak sekali memberi hentak pada nalar dan logika saya agar hati saya merekam: Ibu sangat serius kalau urusan jro nang desa, jro sumbah; begitu banyak hal gumatat-gumitit yang harus disapanya tapi hanya dengan kalimat yang sederhana: ampunang ngulgul, niki jotan....dan ketika saya ganti motor, ibu saya mengupacarai dengan menabur beras; yang ditaburkan, dia komat-kamit.....saya bertanya; mantranya apa bu? Ibu saya dengan santai menjawab: jro montor, empuang panak tiange, punang kecagang dijalan....kije-kije empuang, peteng lemah empuang.....
Ibu saya, tidak pernah membuat saya merasa beragama itu menegangkan; semuanya menjadi ringan dan mengundang senyum bahkan suatu kali, ibu saya yang sudah pikun itu lupa kalau kajeng kliwon, dan saya saat itu menelpon, tidak mesegeh bu? bu saya menjawab; Oh, ya, ibu lupa, besok saja....besok ibu akan ngaturang segehan....sebab saya tahu gaya ibu saya, saya hanya tersenyum, saya tahu ibu ingin berkata; jika tuhan itu engkau ukur dengan ukuran kemanusiaanmu, maka kamu akan kerauhan terus, jika benar engkau memujanya; maka agama itu memberimu hati yang lapang, galang dan mengundang senyuman.
Sumber : FaceBook
Comments
Post a Comment