Ida Betara dan Ayam Panggang
(Sebuah renungan buat orang Bali)
Alkisah I Made Vario Tekno (dipanggil De Vano) menghaturkan sesaji di pura. Saat itu ada I Wayan Mio Kopling (Yan Miko) dan berkata, “apa Ida Betara suka buah, kue, lawar, ares, sate, ayam panggang, dll?” Ketika melihat sesari, ia bertanya lagi “apakah Betara perlu uang?”.
Diseruduk dengan pertanyaan itu, De Vano kebingungan. Namun belum sempat menyahut, tiba-tiba De Vano dan Yan Miko menghirup wangi dupa sangat harum. Pikirannya melayang ke sebuah tempat yang penuh wangi bunga. Lalu muncul sosok berpakaian putih dengan wajah tak jelas. Sosok itu berkata: “Pertanyaanmu memang benar. Anak muda jaman sekarang memang berfikir fragmatis dan perlu jawaban realistis”.
Begini cucuku: “Apapun yang kau haturkan dengan senang hati dan tulus, maka itulah yang beliau suka. Jika menghaturkan sesuatu yang tidak disuka, maka beliaupun tidak suka”.
“Apakah Ida Betara suka ayam panggang? Tanya balik dirimu!, apakah aku suka ayam panggang? Ketika jawabannya ya, maka Ida Betara pun setuju”.
“Ketika tidak dihaturkan ayam panggang, apakah beliau komplin? Tidak!! Ida Betara bukanlah peminta, beliau adalah pemberi. Beliaulah yang menciptakan ayam panggang itu”.
“Coba kau lihat, setelah dihaturkan apakah ayam panggangmu berkurang? Tidak kan! Semuanya masih utuh, agar kau bisa nikmati kembali. Semua itu adalah simbol bakti, simbol pengharapan, simbol puja puji, simbol ketulusan. Demikian juga dengan “sesari”. Ida Betara tidak perlu uang. Itu adalah simbol ketulusanmu memohon kehadapan Betara agar doa dan pengharapanmu “mesari” berisi dan terkabul.
Betara hanyalah mengukur tingkat ketulusan dalam beryadnya dan berbakti. Jangan pula kawatir dengan semua biaya yang telah kamu keluarkan untuk persembahan. Ida Betara akan menganugrahkan sesuatu yang setimpal. Memang bukan dalam bentuk uang tunai. Bisa jadi dalam bentuk kesenangan, kesehatan, kebahagiaan, kelancaran, atau tersamar dalam bentuk rejeki, dll”.
“Jangan pula bilang bahwa warisan leluhur “rumit”, karena hal itu hanyalah ketidakmampuanmu memahami secara sederhana. Jangan bilang ajaran leluhur “primitif”. Karena ia berasal dari jaman sebelum ada jaman, ia abadi (sanatana dharma). Tetapi ia akan tetap menjadi “jembatan emas” bagi mereka yang memahami kesejatiannya”.
“Ada yang bilang ajaran leluhur tidak “up to date (kekinian)”. Sekali lagi, semua itu adalah ketidakmampuanmu mengadaptasi ajaran itu pada masa kini. “Belum lagi temanmu mengecapnya dengan ajaran yang “boros”. Kita perlu bertanya ulang kepada hati kecil, “apakah ajaran leluhur yang boros atau kita yang kurang iklas?” entahlah”.
Sampai pada kalimat ini, tiba-tiba De Vano dan Yan Miko merasa seperti kesetrum listrik. Mereka tersadar dan mendapatkan dirinya sedang bersandar di tembok pelinggih dengan punggung dikerubuti semut api. Mereka berdua saling toleh. Menyadari ada hal niskala menerpa dirinya, mereka berdua bergegas pulang. Semua sesaji ditinggal.
Meng kuwuk hitam yang sedari tadi tidur-tiduran di bataran pelinggih berkata dalam hatinya ”Beh… setelah mendapatkan wejangan niskala, tiba-tiba saja De Vano menjadi orang yang “lascarya” (tulus iklas), sampai-sampai haturan ayam panggangnya ditinggal. Demikian Meng Kuwuk sambil menyantap ayam panggang itu.
Ampura. Satua puyung saking karang suwung.
Sumber : FaceBook
Comments
Post a Comment