Ida Betara Ratu Gede yang sampai saat ini masih tetap dipertahankan keberadaannya sebagai sesuhunan krama Banjar Tainsiat, diyakini pula menjadi perekat sekaligus pelindung di wilayah pekraman Banjar Adat Tainsiat.
Awalnya diceritakan bahwa untuk upakara sehari-hari atau disebut juga dengan istilah rayunan, dipersiapkan dan dihatur oleh krama banjar secara bergiliran. Sampai pada saat semua kepala keluarga adat mendapat penugasan, proses tersebut lalu kembali ke siklus semula.
Namun sayang, hal ini diinformasikan banyak mengalami hambatan dalam pelaksanaannya.
Yang kemudian mengubah keputusan agar penyediaan sarana upakara sehari-hari ini dipersiapkan oleh Jro Mangku bersama Prajuru Adat secara terpusat, dan biayanya dibebankan kepada krama banjar dalam bentuk iuran tahunan dan punia.
Cara ini dianggap lebih efektif efisien sehingga tetap digunakan hingga saat ini.
Sebagai sungsungan krama serta pelindung pekraman, Ida Betara Ratu Gede dahulu secara rutin melancaran atau berkeliling di wilayah adat Banjar Tainsiat setiap rahina Kajeng Kliwon atau 15 hari sekali. Dalam prosesi ini para krama istri biasanya menghaturkan sajen atau blabaran kehadapan Ida Betara Ratu Gede di depan halaman rumah masing-masing.
Yang mana seiring dengan perkembangan jaman dan padatnya lalu lintas, tradisi unik di masa lalu ini hanya dilaksanakan bilamana dibutuhkan, atau setiap Kajeng Kliwon Pemelastali yang jatuh setiap 6 bulan sekali.
Sehingga di jaman now, setiap 15 hari sekali atau pada rahina Kajeng Kliwon, Krama Banjar Tainsiat secara bersama-sama menghaturkan sembah bhakti kepada Ida Betara Ratu Gede yang berada atau melinggih di Pura Maspahit.
#DokumentasiKelihanAdat #BanjarTainsiat
Comments
Post a Comment