Tradisi mesesandaran yang dilakukan secara bersamaan dengan aktifitas munut atau nyalukin pengawak Barong Landung, tampaknya sudah mulai jarang bisa dilakukan oleh krama, mengingat generasi yang dahulu telah mempelajari cara dan penerapannya, satu persatu telah pergi seiring berjalannya usia.
Sehingga pada agenda rahina Kajeng Kliwon bulan lalu, sempat tercetus ide untuk mencari regenerasi dari krama agung warga banjar Tainsiat termasuk potensi para Sekaa Teruna, diajarkan cara mesesandaran sembari munut didalam pengawak barong.
Sebetulnya bisa saja dilakukan secara terpisah. Yang menarikan pengawak Barong Landung adalah orang berbeda dengan yang mesesandaran, seperti yang infonya banyak dilakukan di luar sana. Namun itu akan mengurangi kesakralan tradisi yang sudah diemban dari puluhan tahun lalu.
Mesesandaran kurang lebih bisa diartikan sebagai percakapan yang disuarakan dengan konsep gegonjakan atau pepantunan, antara dua penokohan Barong Landung, lanang dan istri, yang kerap dikenal dengan nama Jero Gede dan Jero Luh.
Jumlah kalimat yang disampaikan dalam setiap percakapan ini biasanya terdiri dari empat baris, yang diulang dua kali dalam satu sesi. Kalimat itu bisa diucapkan secara bergantian seperti saling menyahuti, atau secara bersamaan dengan pembedaan tinggi rendahnya nada.
Di lingkungan kami, mesesandaran biasanya dilakukan saat Ida Betara Sesuhunan Ratu Gede diagendakan untuk melancaran ke luar pura, ataupun pada saat-saat tertentu di internal wilayah.
Adapun gambelan yang mengiringi aktifitas mesandaran ini adalah jenis bebatelan yang dimainkan oleh sebagian kecil sekaa, didominasi oleh perangkat alat suara tiup atau suling.
#DokumentasiKelihanAdat #BanjarTainsiat
Comments
Post a Comment