Sejak dipilih menjadi Kelihan Adat Banjar Tainsiat, mau tidak mau kami mulai membiasakan diri untuk duduk bersila bersama-sama dengan para penglingsir lainnya di Bale Daja, bangunan yang memiliki orientasi utama dalam pola natah rumah tradisional Bali.
Keharusan ini informasinya merupakan sebuah kebiasaan dalam agenda acara adat di Bali, untuk menghormati para tetua adat atau mereka yang dituakan dalam lingkungan keluarga maupun adat setempat, termasuk para pemimpin dalam lingkup kedinasan.
Hal ini dilakukan setiap kali pelaksanaan upacara adat yang melibatkan atau mengundang kehadiran kelihan adat juga dinas lingkungan banjar.
Meski demikian, salah satu tantangan besar bagi kami, utamanya saat hadir dalam undangan perkawinan, baik dalam kapasitas sebagai saksi melepas warga ataupun mengambil pasangan penganten adalah, bagaimana cara penyampaian kalimat dalam bahasa bali alus saat diberi kesempatan berbicara disela proses ‘ngeraos’ yang dihadiri oleh dane Jero Mangku, penglingsir dan juga semeton dari kedua belah pihak, para kelihan adat dan dinas dari kedua pihak pula, serta juru baos/raos yang biasanya akan ‘adu kemampuan’ saat proses tersebut dilakukan.
Mengingat tak satupun dari kami yang memiliki pengalaman serupa sebelumnya. Paling hanya sebatas menyampaikan pendapat saat pleno yang bahasanya masih dicampuraduk dengan Bahasa Indonesia sehari-sehari.
Namun, lantaran secara ‘usia’ kami dalam jabatan kelihan adat masih dalam hitungan bulan, kesulitan ini diakali dengan membawa contekan tertulis dalam bentuk lembaran kertas, ataupun catatan pada layar ponsel sehingga memudahkan untuk dibaca dan dilirik sepintas lalu saat berbicara. Ada juga yang mencoba berimprovisasi sendiri saat senggang, mengantar anak sekolah atau saat menyetir kendaraan, berbicara berulang-ulang menglafalkan dan menghafalkan kalimat per kalimat penyampaian yang telah disadur kedalam bahasa bali alus.
Tujuannya tentu agar saat ditugaskan nanti, minimal gak kalah gaya dengan para tetua atau juru baos yang akan ‘beraksi’ dalam satu agenda yang sama.
Memang sih, sah-sah saja atau masih diperbolehkan untuk menyelipkan bahasa Indonesia dalam penyampaikan, tapi rasanya kurang mantap jika sampai dilakukan pada agenda adat bali semacam ini.
#DokumentasiKelihanAdat
#BanjarTainsiat
Comments
Post a Comment