Setiap kali jelang hari raya Galungan, sesaat setelah kami selesai mengenakan wastra atau kain yang diperuntukkan bagi semua pelinggih di merajan rumah hari minggu pagi, pikiran ini selalu melayang pada sosok satu orang panutan yang kini sudah tiada. Orang yang pernah banyak memberikan nasehat tentang berbagai macam hal, baik dalam dunia kerja maupun keseharian. Orang yang menyadarkan saya pada kenyataan, dimana kejujuran tak selalu bisa menyenangkan bagi semua orang. Orang yang selalu mengingatkan bahwa apa yang tampak didepan mata, tak selalu sama dengan makna yang terdapat dibaliknya.
Ada 14 pelinggih yang diukur dan dibuatkan wastra sekitar 4-5 tahun lalu. Saat itu rejeki bisa dikatakan masih cukup berlimpah untuk memberikan warna baru pada keseharian kami di rumah. Pun memberikan rejeki tambahan pada beliau yang sudah menjalani masa pensiun pasca pengabdian panjang di masa lalu.
Kini, warna merah wastra yang dulu pernah menyala, mulai redup ditelan jaman dan cuaca. Menyisakan keinginan untuk menggantinya, namun hati ini belum rela. Terlalu apik untuk dilupakan, kenangan melalui lembaran kain yang pernah dilahirkan melalui tangan dingin beliau. Sayang, sampai hari ini belum ada generasi yang bisa menggantikannya.
Rahajeng hari suci Galungan semeton, dumogi rahayu sareng sami.
Comments
Post a Comment