UU ITE dan segala ancamannya, hampir menjadi sebuah mimpi buruk bagi saya yang saat itu masih berstatus sebagai seorang pns baru di sebuah kantor dekat titik nol kilometer kota Denpasar.
Sebuah tulisan dalam blog yang menceritakan soal wartawan amplop sempat menduduki tempat teratas dalam hasil pencarian google, menggunakan kata kunci nama sebuah media mainstream lokalan.
Suasana hati di hari kerja saat itu jadi agak muram pasca mendapatkan informasi dari seorang kawan yang kebetulan memiliki hubungan dekat dengan para petinggi media cetak tersebut. Yang mana menyebutkan soal rencana tim pengacara dari media tersebut untuk menuntut saya menggunakan UU ITE, karena gerah dengan isi dan judul post blog tersebut.
Sempat ragu sesaat dan mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
Saya pun sigap menghapus postingan blog yang saat itu sudah berpindah dari platfotm gratisan blogspot (saat tulisan dibuat) ke domain pribadi yang aktif hingga saat ini. Hal ini menjadi sebuah keberuntungan, karena infonya rekan-rekan di media tersebut belum melakukan capture post blog, baru sebatas membaca saja. Bahkan kawan yang mengabarkan info diataspun tak mengetahui isi lebih jelasnya, mengingat post blog tersebut sudah dihapus secara permanen dari halaman blog dan dashboard admin.
Permasalahan kemudian bisa diselesaikan lewat bantuan seorang kawan yang berupaya menengahi itu semua.
UU ITE dan segala ancamannya, kerap dipandang sebagai sebuah upaya untuk memberangus kebebasan berpendapat pada jaman pasca reformasi ini.
Yang berawal dari sebuah keluhan pribadi, lalu diunggah pada akun sosial media, Whatsapp Group ataupun blog milik sendiri, ternyata begitu rentan dan memiliki potensi berujung pada bui, dengan hanya mengandalkan pasal karet pencemaran nama baik bagi siapapun yang mencoba melakukannya.
Membaca cerita para korban UU ITE melalui sebuah buku Matinya Kebebasan Berpendapat yang diterbitkan oleh Parist Pustaka Kudus, Juni 2021 memberikan banyak gambaran dan juga tambahan pengetahuan akan apa yang seharusnya bisa kita hindari sejak awal bilamana memiliki hasrat atau keinginan untuk bercerita dalam bentuk media apapun di dunia maya, tentang apapun. Karena jika sampai terjebak dalam situasi yang berpeluang memberikan kesempatan pada orang lain yang tak berkenan akan semua cerita itu, maka bersiaplah untuk menghadapi hukum dan kursi pengadilan.
Mengingat tuntutan bisa tetap dijalankan meski hanya berdasar pada penafsiran sepihak saja.
Maksud hati ingin mengingatkan orang lain, apa daya gerbang jeruji sudah menanti.
Comments
Post a Comment