Kota Denpasar nyaris tetlihat seperti sebuah kota yang mati, kota yang ditinggalkan oleh penghuninya seperti adegan dalam film-film bertemakan masa depan. Toko-toko makin banyak yang menutup gerai mengikuti himbauan ppkm mikro, tampak saru dengan mereka yang mati pelan-pelan dan memilih untuk menutup tempat usahanya secara permanen ketimbang rugi lebih banyak. Pun lengangnya jalanan karena penyekatan yang makin banyak.
Tingkat kematian yang masih tinggi tampaknya menjadi salah satu pertimbangan pemerintah menginginkan perpanjangan ppkm hingga akhir Juli mendatang. Namun minimnya upaya pemberian bantuan bagi mereka yang dirumahkan atau menutup tempat usahanya, membuat masyarakat terdesak makin jauh karena tak semua mendapatkan gaji bulanan dari negara meski memiliki status serupa. Jurang kecemburuan makin menganga.
Ada yang pada akhirnya memilih pasrah, karena meyakini bahwa Karma masa lalu merupakan penyebab adanya kehidupan masing-masing orang di jaman sekarang. Kalaupun kemudian harus dinyatakan positif mengidap Covid atau meninggal, ya memang sudah digariskan. Karma tak akan salah memilih, katanya.
Hanya saja ketidaksiapan diri yang menjadi masalah besar bilamana itu benar terjadi pada orang-orang yang kita cintai disekitar atau bahkan pada bocil-bocil yang hingga kini belum bisa mendapatkan vaksin karena pertimbangan umur. Sementara di luar sana, kematian anak infonya juga makin banyak. Gak kebayang jika kelak mereka akan mengalaminya pula.
Harapan untuk bisa tercapainya kekebalan secara komunal atau herd immunity menjadi tujuan terdekat yang ingin dicapai banyak pihak. Saya hanya bisa berharap semoga kehadiran virus Covid-19 ini kelak bakalan menjadi semacam flu biasa, cuma entah kapan bisa terjadi.
Saat ini kita hanya bisa menunggu dan menanti, apakah semua akan bisa satu suara dalam upaya ini atau tidak…
Comments
Post a Comment