Berkendara motor sebetulnya adalah salah satu kesukaan saya dari sejak memiliki motor kopling jaman kuliah dulu. Rutenya bervariasi, dari yang jauh, seputaran rumah, atau main ke proyek di seantero Kabupaten Badung. Ujung utara sampai selatan. Belakangan jadi nambah rute keliling kota ataupun pinggiran lantaran istri juga menyenangi hobi yang sama, utamanya pasca ia paham cara duduk bergandeng diatas jok lebar milik Xmax.
Yamaha XMax 250
Ini adalah kendaraan bermotor ke-4 yang saya miliki sejak awal mula.
Bodinya gambot, pas banget untuk ukuran tinggi badan saya sejauh ini. Punya bagasi luas untuk menyimpan jaket, dua helm half dan full face, juga beberapa pernak pernik lain yang biasanya dibawa saat berkendara. Jadi gak menuh-menuhin kantong jaket.
Ambil motor ini kalo ndak salah ingat pada bulan Agustus tahun 2017 lalu, pasca kaul yang diharapkan bisa terwujud setelah berdarah-darah mencari cara untuk mendapatkannya.
Honor PPK selama setahun, akhir masa jabatan di Dinas Cipta Karya sebelum lebur menjadi satu dibawah bendera PU.
Jauh sebelumnya, saya pernah merasakan 3 kendaraan bermotor lain yang menemani kisah keseharian dengan banyak kenangan.
Pertama ada Honda Astrea 800 second yang dibeli oleh orangtua saat saya masih duduk di bangku menengah atas jelang kelas 3. Tujuannya agar saya tak lagi berpeluh mengayuh sepeda balap dari rumah ke sekolah yang jaraknya sekitar 7 KM jauhnya ke arah timur, bolak balik. Belum termasuk saat mengikuti extra kurikuler.
Juga agar tak lagi kebingungan mencari tumpangan ke beberapa kawan sekolah terdekat rumah.
Motor ke-2 yang saya miliki adalah Honda Tiger 2000 versi awal. Ambilnya patungan dengan ortu saat negeri ini mulai dilanda krisis moneter. Beruntung juga keputusan untuk membeli motor dilakukan dengan cepat, lantaran harga jual motor lakik dengan kapasitas mesin 200cc ini sempat merangkak naik dua kali lipat dari harga awal peluncuran. Bahkan saat dollar sedang tinggi-tingginya, harga beli infonya mencapai angka belasan juta.
Cuma sayang, sampai lepas masa KKN saya belum jua punya seseorang yang bisa dibonceng saban hari.
Tiga belas tahun melintasi jalan raya dengan motor kopling, akhirnya musti rela dilego murah untuk kebutuhan modif motor salah satu om, bungsu dari keluarga ibu pada tahun 2011 silam. Disamping saat itu honor tambahan pekerjaan sebagai Sekretaris LPSE Badung bisa dijadikan cicilan motor baru pengganti.
Yamaha Scorpio Z 225cc.
Motor dengan warna merah menyala ini merupakan pilihan utama saat memutuskan pergantian motor dari cc 200. Namun demikian, penampilan Byson yang saat itu menjadi best seller cukup menggoda iman, langsung out begitu mengetahui kapasitas mesinnya hanya 160cc saja. Eman mah kalo turun mesin dari 200cc sebelumnya.
Saking sukanya, tahun 2014 saya mulai melakukan modif pada kaki-kaki Scorpio mengingat rampingnya penampilan, kurang gahar untuk sebuah motor berkapasitas mesin 225cc.
Pasca oprek 2 bulanan di bengkelnya om Made Jepang, naik motor jadi serasa menunggang kuda. Tinggi abis, dan posisi pijakan kaki jadi terkabul dengan tulangan underbone.
Belakangan di masa pandemi, sempat kepikiran mau menjual motor kesayangan agar tak lagi merepotkan banyak orang, mengingat pendapatan sudah masuk pada tahap kesusahan, dimana tambahan tak lagi diberikan laiknya dulu. Sementara hutang dan kewajiban tetap harus dijalankan.
Kasihan sebenarnya, tapi ya mau gimana lagi ?
Comments
Post a Comment