Ia berjalan gontai menyusuri trotoar pada siang hari yang teramat terik. Langkahnya diseret perlahan sembari menahan sakit akibat kram pada pergelangan kaki sejak pagi. Tangannya menenteng sebuah plastik kecil berisikan lauk kesukaan sang anak semata wayang. Sedikit demi sedikit mendekati pintu pagar rumah yang kondisinya sudah seindah dulu.
Ia menaruh lauk itu di keramik dapur dekat meja makan. Mengambil dua mangkuk kecil dan membaginya rata. Satu ia sisakan untuk dinikmati si anak nanti sore, satunya ia bagi berdua bersama istri. Satu nikmat tiada tara saat ia mencoba menyuapi sang istri yang hingga kini tak mampu bangkit dari tempat tidurnya, sejak terjatuh dan lumpuh dua tahun lalu. Ia pun mencoba menikmati apa yang ada dengan sisa tenaganya.
Pintu depan rumah berdebam keras. Tanda si anak telah pulang dari tempat ia bekerja. Tak ada sapa, tak ada berita. Langkah kaki yang masuk, perlahan menghilang tanpa menghampiri dua sosok yang sejak tadi telah menanti. Ia hanya bisa terdiam dan menangis. Perceraian Agam dengan istrinya adalah pukulan telak bagi keluarga kecil ini. Tak ada lagi yang bisa mengurus dua sosok renta dengan penuh kasih sayang.
Senja perlahan menampakkan diri. Menyambut petang yang sebentar lagi akan datang. Ia menarik selimut untuk menutupi badan perempuan tua yang berbaring tak berdaya diatas kasur kapuk dan tumpukan pakaian lusuh. Mereka nyaris kehilangan segalanya.
Comments
Post a Comment