Sesaat setelah sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya, secarik kertas tampak menyembul dari tangan kanannya yang penuh luka. Beberapa goresan kalimat berwarna biru, tampak jelas berbaris rapi. Sebuah wasiat yang kelak akan mengundang amarah sang putra semata wayangnya.
“Aku adalah anak Ayah ! Tapi kenapa Dia yang mewarisi semua perusahaan dan aset yang Ayahku miliki ?”
Agam murka dan mempertanyakan isi surat yang dituliskan sang ayah saat tulisan tersebut dibaca di hadapan semua saudara. Sementara sang Ibu hanya bisa diam membisu karena tak mampu lagi berbicara pasca kelumpuhannya tiga tahun lalu. Semua mematung dan memandang pada seorang sosok pria pendiam. Ia adalah orang yang sejak dulu mendampingi Ayah Agam kemanapun pergi dan bertugas. Melayani dan membantunya dalam upaya pemecahan masalah atas pekerjaan dan tanggung jawab yang ditinggalkan Agam.
Ia masih tak percaya, jika namanya disebutkan dalam surat wasiat sebagai pewaris semua harta dan tahta yang ada. Ia paham jika Agam mencurigainya telah memalsukan surat wasiat sang ayah. Ia pun memilih diam dan berlalu. Meninggalkan Agam dan amarahnya yang tak kunjung padam.
Comments
Post a Comment