Saya justeru merasa kasihan sebenarnya dengan mereka yang menertawakan ‘kebenaran’ yang sedang diungkapkan dalam sebuah mimbar umum bahkan diunggah ke ranah publik, untuk sebuah pengetahuan yang sesungguhnya belum mampu dipahami dengan baik olehnya, bahkan saat jenjang pendidikan tinggi sudah direngkuh dengan susah payah.
Apalagi mereka yang menerima lalu menjadikannya sebagai suar dalam kegelapan dengan harapan bisa membimbing jalan, menghindari lubang-lubang maksiat demi sebuah tujuan bernama Surga.
Di sisi lain, saya malah merasa bersyukur bahwa kini sudah berkurang satu insan manusia yang berpotensi menjadi duri dalam daging saat memilih diam dan tak paham dalam kesendiriannya. Lebih banyak berkutat pada ilmu yang dangkal namun mengklaimnya sebagai pemahaman yang luar biasa.
Air beriak tanda tak dalam, pepatah lama rasanya masih relevan untuk disebutkan.
Sangat berlawanan dengan ilmu padi, yang makin merunduk saat makin berisi.
Akan tetapi di jaman yang serba instant akan keinginan bisa viral dalam sesaat, kedua pepatah tersebut tentu saja gak berlaku bagi sebagian orang di luar sana. Kuno kata mereka. Justru bagaimana caranya agar dapur bisa ngebul, jika tak menunjukkan ‘kualitas’ yang bisa menguncang decak kagum banyak orang, meski sebagian lainnya menertawakannya dalam diam. Bagaimana mungkin dengan merunduk, keluarga bisa makan enak dan terkenal di sosial media. Ya memang gak mungkin menerapkan kedua pepatah tersebut di sosial media masa kini.
Cuma memang miris dengan kualitas kita *aku, kamu dan kalian tentu saja- sebagai penikmat konten, penikmat cerita di dunia digital. Masih mau mempercayai apa yang diungkap dari hasil pemikiran seseorang yang mengaku mendapat pencerahan dalam kegelapan, dalam dunia yang sebenarnya ia ingkari sejak awal. Masih memuja mereka yang tampak mapan, tampak pintar di halaman sosial media meski kehidupan sebenarnya malah amburadul dalam mendidik dan menjaga dirinya sendiri saat berperilaku di dunia nyata.
Semua kembali pada diri sendiri saja sebenarnya.
Comments
Post a Comment