Skip to main content

XMax dan sebuah Perjalanan

Beberapa kawan dan pimpinan di pemda pernah mempertanyakan kebiasaan saya yang kerap mengendarai motor besar sekelas Xmax ke pasar pagi dan memarkirkannya diantara puluhan kendaraan roda dua lainnya, pun untuk mengantarkan anak-anak sekolah. 
Mengingat mereka yang juga merupakan Xmax owner, memilih mengendarai matic gambot ini hanya untuk keperluan touring jaral jauh, dan jika tak digunakan, motor biasanya akan masuk ke ruang tamu atau garase khusus. Tentu pasca dicuci bersih tanpa debu. 

Saya mah nyengir aja. 

Balik ke kebutuhan kita masing-masing sih sebenarnya. 
Bahwa untuk kasus kepemilikan Xmax secara sudut pandang yang saya miliki, tujuan awalnya adalah memilih kendaraan harian yang sesuai dengan postur tubuh saya yang tinggi. 
Bukannya belum pernah mencoba yang lain, sudah bahkan 3 kali memilikinya sendiri, dan berkali-kali mencoba menaiki punya kawan. Kesemuanya itu memang kurang pas untuk dikendarai dengan kaki sepanjang ini. 
Untuk motor terakhir sebelum berganti ke Xmax pun, pernah dimodif agar mengadopsi kebutuhan kaki namun tetap saja secara bodi motor, masih tergolong kecil untuk saya naiki. 

He-em… ini kita ngomongin Motor ya, bukan Istri. He…

Tujuan kedua tentu saja saya memerlukan kendaraan yang bisa digunakan untuk mengantarkan anak-anak bersekolah dan jalan-jalan.
Saya ada bilang ‘anak-anak’ karena jumlah anak yang dikaruniai oleh-Nya ada 3. Minimal bisa ngajak 2 orang lah untuk kebutuhan ini. Kalo bisa ya ketiganya. 
dan hanya dengan Xmax ini saja, tujuan ke-2 ini bisa diakomodir. 
Sementara kalopun saya memilih model motor lakik yang pake kopling kiri, kasian anak-anaknya dipaksa duduk di tangki atau jok belakang yang kecil se-iprit. 
Lalu kenapa harus pake motor ? Kenapa bukan mobil untuk nganter anak-anak ? Ya kan mobil sudah ada ? dan kita disini sekarang lagi ngomong soal Motor kan ?

Pertimbangan terakhir ya soal Budget. 
Terjangkau kantong dan masuk akal. 
Masuk akal yang saya maksudkan terakhir ini adalah, budget yang masuk akal untuk ukuran seorang pegawai negeri sipil yang penghasilannya standar gaji tambah tunjangan, tanpa ada pemasukan sampingan atau bisnis gede yang dilakoni. Masuk akal ketika nanti kalau pas ditanya orang apa pekerjaannya, gak akan menimbulkan kernyitan dahi dan pertanyaan lanjutan ‘ada bisnis sampingan apa’ ? 
Hehehe… 
Tapi kan masih bisa ambil Kredit ? 
Bisa sih… cuma eman atau kasihan uangnya, kalo harus dipakai Kredit Konsumtif untuk sesuatu hal yang sebenarnya masih bisa didapatkan dengan cara yang lebih baik.
Minimal sisanya masih bisa digunakan untuk kebutuhan anak-anak, istri dan keluarga. 
Toh semua masalah sudah bisa dipecahkan bukan ? 

Comments

Postingan Lain

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dil...

Menantu Mertua dan Calon Mertua

Menonton kembali film lama Meet the Parents (2000) yang dibintangi oleh Ben Stiler dan Robert De Niro, mengingatkan saya betapa terjalnya perjalanan seorang calon menantu untuk mendapatkan kepercayaan sang calon mertua, atas putri kesayangan mereka yang kelak akan diambil menjadi seorang istri dan pendamping hidup. Meski ‘kekejaman’ yang ditunjukkan oleh sang calon mertua dalam film tersebut *sosok bapak* jauh lebih parah dari yang saya alami, namun kelihatannya cepat atau lambat, akan saya lakoni pula nantinya. Memiliki tiga putri yang salah satunya sudah masuk usia remaja, adalah saat-saat dimana kami khususnya saya sudah sewajarnya masuk dalam tahapan belajar menjadi seorang kawan bagi putri sulung saya satu ini. Mengingat ia kini sudah banyak bertanya perihal masa lalu yang saya miliki, baik soal pendidikan atau sekolah, pergaulan dan hobi. Memang sih untuk urusan pacar, ia masih menolak berbicara lebih jauh karena berusaha tak memikirkannya, namun sebagai seorang Bapak,...

Pengetahuan kecil tentang soroh PANDE

Sekali-sekali saya selaku penulis seluruh isi blog ini pengen juga ber-Narzis-ria, satu hal yang jarang saya lakukan belakangan ini, sejak dikritik oleh seorang rekan kantor yang kini jadi malas berkunjung lantaran Narzis tadi itu.  Tentu saja postingan ini bakalan berlanjut ke posting berikutnya yang isinya jauh lebih Narzis. Mohon untuk dimaklumi. *** PANDE merupakan salah satu dari empat soroh yang terangkum dalam Catur Lawa (empat daun teratai) Pasek, Pande, Penyarikan dan Dukuh- yang memiliki keahlian dalam urusan Teknologi dan Persenjataan. Ini bisa dilihat eksistensi pura masing-masing di Besakih, yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dalam berbagai kegiatan Ritual dan Spiritual. Dimana Pura Pasek menyediakan dan menata berbagai keperluan upakara, Pura Pande menata segala peralatannya. Pura Penyarikan menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur. Sedangkan Pura Dukuh Sakti sebagai penata berbagai keperluan sandang pan...

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie.