Tersebutlah dua remaja tanggung bernama Bayu dan Putra pada satu siang, sedang ikut dalam agenda study tour sekolah ke sebuah situs sejarah dalam kaitan keberadaan Kerajaan Majapahit, Candi Penataran di Jawa Timur. Matahari yang bersinar cukup terik, membuat dua sahabat ini mulai bergerak menjauh dari rombongan kawan lain, menuju sebuah pohon besar nan rindang. Beberapa tumpukan batu candi tampak ditata rapi membentuk lingkaran mengelilingi area.
Secara tak sengaja, Putra tersandung batu berukuran sedang, berwarna merah yang sangat cerah, berbeda jauh dibanding batu-batu di sekitarnya. Bayu yang melangkah dibelakang, segera menarik tangan Putra agar ia tak sampai terjerembab ke tanah basah di sekitaran pohon. “Batu apa itu ?” tanya Bayu terheran-heran.
Dengan sigap, Putra mengambil batu tersebut dari tanah dan membersihkannya. “Entah…” ucapnya perlahan. Saat Putra berusaha menggosok permukaannya dengan kain bajunya, tiba-tiba langit berubah menjadi gelap dan tak disangka mereka telah berada pada satu pelataran besar dengan tiang yang kokoh dan penuh perhiasan. Sebuah kerajaan yang besar tampak berdiri megah di hadapan. Lalu lalang orang berpakaian perang tampak sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.
Bayu dan Putra tampak kebingungan, mereka kagum dan masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya siang itu. Sementara di penghujung lorong tampak sekelompok orang sedang bertengkar dalam bahasa yang tak jelas mereka dengar.
Bayu dan Putra berusaha mendekat. Namun apa lacur, seorang laki-laki bermahkota tampak marah dan menuding mereka berdua. “Tangkap mereka, dan bawa batu merah pusaka kerajaan itu kemari.” Ujarnya keras.
Lalu sekelompok orang itupun bergegas mengejar kedua sahabat ini, yang tampak khawatir dan memutuskan untuk pasrah mengalah. Mereka pun bersimpuh di hadapan orang yang ternyata adalah raja pada masa itu. Mereka pun berkata “Ampun paduka, kami tidak mengetahui bahwa batu ini adalah batu Pusaka milik kerajaan. Kami menemukannya dekat pohon besar di ujung sana. Bilamana batu ini dapat menghentikan pertikaian disini, maka kami siap memberikannya agar kalian semua dapat bersatu kembali.”
Putra kemudian meletakkan batu merah itu di kaki sang raja, dan orang-orang yang tadinya tampak bertikai pun tersenyum senang. Dengan ramahnya mereka merangkul Putra dan Bayu yang masih sedikit gemetar saking takutnya.
Saat tawa sang raja terdengar, muncul asap putih yang mengerubungi tubuh mereka berdua. Tampaknya mereka kembali ke tempat pohon besar dimana Putra tersandung batu tadi. Putra pun berucap “Untung aku ingat makna Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Maha Patih Gajah Mada saat penobatannya, bahwa dibutuhkan sebuah pengorbanan untuk bisa menyatukan kita semua. Kalau tidak, bisa habis kita.”
Bayu yang mendengarkan pun tersenyum gembira “Iya ya, cerdas kamu Tra” lanjut Bayu.
Mereka pun kemudian bergegas menghampiri teman dan guru mereka di kejauhan, mencari dua sahabat ini untuk makan siang.
*
Post diatas merupakan sebuah karangan oleh putri sulung saya, Mirah Pande sebagai bagian dari tugas sekolah mata pelajaran bahasa Indonesia.
Jadi dinikmati saja.
Comments
Post a Comment