Rasanya sedih pas baca timeline beberapa dokter dan juga media milik warga lokal di akun media sosial mereka, yang rajin banget update info dan progress soal ‘kemajuan’ Corona di tanah air maupun tanah Bali tercinta. Kota Denpasar yang dulunya adem, infonya kini sudah mulai masuk menjadi zona merah. Pesan broadcast yang bersliweran di whatsapp group pun makin menukik, menyebutkan satu persatu desa ditemukan indikasi hasil test swab positif yang kian hari kian dekat saja penampakannya. Bahkan untuk lingkungan kantor kami pun, ada juga pesan berantai yang menyebutkan bahwa pegawai di salah satu instansi sisi barat, ada yang sudah positif dinyatakan mengidap Corona. Aduh…
Berusaha disiplin #diamdirumahsaja rasanya memang belum cukup. Rajin mencuci tangan atau bahkan mandi membersihkan diri sepulang dari bepergian pun rasanya kurang. Jaga jarak antar tetangga dan orang luaran saat beraktifas atau bekerja juga sudah dilakoni. Tapi tetap saja angka dan garis grafis kian menanjak dari hari ke hari. Meski ada harapan bahwa puncak terjadi di bulan Juni, rasanya kok mustahil bisa tercapai jika yang lain gak melaksanakan apa yang berusaha disiplin kita lakukan dan terapkan pada keluarga sendiri.
Gak menyalahkan sih sebetulnya bila orang lain di luaran pada nekat beraktifitas lantaran hutang dan operasional usaha masih tetap berjalan, pula hidup tak semudah cocot para motivator. Mereka berjibaku untuk tetap bertahan saat pandemi begini, dimana yang katanya program bantuan dari pemerintah tak jua kunjung datang. Namun ada juga kelompok yang tak peduli. Masih tetap asyik berkumpul, nongki-nongki dan party, mengabaikan himbauan dan protokol kesehatan masa Covid. Toh kalaupun ditegur atau viral di dunia maya, semua masih bisa diselesaikan dengan sebuah kata Maaf, sebuah lembar pernyataan, dan sebuah meterai 6000 yang dibubuhi sebuah tandatangan diatasnya. Gak ada sanksi sosial, gak ada tindakan apa-apa.
dan Semua pun akan Positif Covid pada waktunya.
Tinggal menunggu pembuktian saja, apakah imun dalam tubuh kita akan mampu melawan Virus Corona, yang katanya mampu disembuhkan hingga 97%. Dengan potensi kematian paling besar, berasal dari golongan tua, atau mereka yang sudah memiliki penyakit bawaan seperti halnya saya sendiri. Bukan tidak mungkin pula, Covid menyerang anak-anak, buah hati kita, generasi penerus bangsa. Bahkan kabarnya ada satu keluarga yang berprofesi di bidang medis, meninggal semua akibat Covid. Atau karena kelelahan dan stress, menurut mereka yang menganggap bahwa isu Corona ini hanyalah sebuah bisnis dan konspirasi elite global.
Jika saja tempo hari gak ada famili yang meninggal dunia, mungkin kedua orang tua kami juga anak-anak, gak bakal dapat kesempatan sedikit pun ke luar rumah, dari awal tahun 2020 semenjak merebaknya Corona yang ditenggarai sebagai sebuah senjata biologis buatan Amerika untuk membunuh China. Syukurnya anak-anak kami jauh lebih disiplin saat ditanya kerabat ‘apa gak bosan diam di rumah terus ?’
‘kan Corona…’ jawab mereka.
Apakah kelak kami, kita, aku atau kamu akan mampu bertahan untuk menyongsong matahari tahun 2021 mendatang ?
Entahlah…
Perbanyak doa dan jangan lupa ‘pekerengan nyejerang daknisa di rong telune…’ kata pemimpin kami.
Apa kamu sudah melakukannya ?
Comments
Post a Comment