Menanti kedatangan para punakawan Nang Klencenk lan Pan Keblonk, kami semua bagai menunggu durian runtuh. Sedari pukul 6 sore, sesuai informasi di awal, sudah banyak semeton atau saudara yang berminat untuk ikut menyaksikan serta menanyakannya kepada kami, apakah mereka jadi tampil ?
Wayang CenkBlonk
Saya mengenalnya sejak awal kemunculan, tepatnya ketika keping vcd lakon Diah Ratna Takeshi diluncurkan, kalau tidak salah awal tahun 2000an silam. Penyajian seni bali klasik wayang kulit yang dibalut dengan banyolan ringan serta rupa penokohan wayang yang tak biasa, mendapatkan sambutan luar biasa dari berbagai lapisan masyarakat Bali, termasuk generasi muda angkatan saya yang saat itu bisa jadi belum banyak ngeh dengan kesenian tradisional dengan cap membosankan. dan Jero Dalang Nardayana kelihatannya tepat masuk dengan cara yang sudah diyakininya sejak lama.
Lakon yang diceritakan cukup menarik, dimana alkisah Abimanyu putra sang Arjuna, kedapatan telah menghamili kekasihnya Diah Ratna Takeshi, bentuk keprihatinan pola pikir anak muda bali hingga jaman now, yang tak berani menyampaikan langsung pada ayahandanya. Justru kepada sang Bima, ia bercerita. Pola dan jalannya lakon sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pakem wayang pada umumnya. Hanya dalam kasus penyajian Wayang CenkBlonk ini, ada penampilan tambahan dua punakawan yang menggambarkan sosok rakyat kecil, Nang Klencenk yang hadir dalam sosok dan perwajahan unik, lengkap dengan petuah dan pesan yang masuk akal logika sehat, serta Pan Keblonk yang polos, nakal tapi penuh humor. Tampil paling akhir jelang lakon usai.
Ada juga set properti wayang lainnya yang tak kalah menarik seperti bojog atau monyet, raksasa menari, cewek seksi/cewek cafe hingga binatang beraneka ragam.
Selain itu, jalannya ceritapun sudah jauh lebih berkembang dan mengadopsi isu-isu kekinian yang banyak menyasar segmen anak muda.
Dalam penampilannya semalam, dengan durasi 1.5 jam dari pukul 21.30 CenkBlonk hadir sesuai tujuan si pengupah, semeton tiang Agus Darmendra lan istrinya Eka, naur sesangi.
Lampah ceritanya pun sederhana dimana sang Arjuna yang berhasil menyelesaikan tapa berata di Gunung Indrakila, bertemu dengan dewa yang siap mengabulkan apapun permintaannya. Didampingi dua punawakan Merdah lan Tualen, cerita antara ayah dan anak hadir mengawali kisah. Berlanjut ke penampilan Sangut Delem dan tak lupa Cenk Blonk.
Saya sendiri tak begitu peduli dengan jalannya cerita, karena yang paling menarik sesungguhnya adalah bagaimana backstage, penampilan sang dalang dalam memainkan wayang rupanya masih sangat menakjubkan. Bagaimana kaki kanan dalang harus berpadu dengan jari kedua tangan dan gerak luwes sejumlah tokoh pewayangan ditimpali suara penokohan yang berbeda-beda, membuat rasa penasaran terobati. Rasa kagum yang muncul pun saya sampaikan secara langsung disela waktu menunggu tim membongkar panggung, pinggiran jalan tengah malam, termasuk soal keberadaan YouTube Channel yang belakangan rajin dikunjungi.
Jero Dalang Nardayana tetap saja membumi, meski secara regenerasi nyaris tak ada yang mampu melanjutkan taksunya. Padahal berkat ia lah, penampilan wayang kulit menjadi begitu digemari semua kalangan masyarakat di Bali.
Comments
Post a Comment