Di balik megahnya bangunan berlantai, ada peluh pekerja berjibaku dengan debu semen dan tajamnya paku
Mengambil keputusan untuk merenovasi dan membangun rumah berlantai, bisa dikatakan cukup berat bagi kami berdua.
Selain berupaya lebih keras dalam menyediakan kebutuhan dana cash untuk penanganan proses konstruksi, perencanaan matang pra pembongkaran, pindahan barang hingga menyampaikan permakluman pada saudara dan tetangga sekitar rumah. Bahkan hingga proses pembangunan dilaksanakan, kami harus berbagi ruangan agar bisa istirahat dengan nyaman. Sementara saat siang hari, bergantian menggunakan ruang tidur atau jika terpaksa ya berdesakan di satu kasur. Tak jarang, yang dalam kondisi sehat, pilih mengalah tidur di lantai, beralaskan bantalan kursi agar dinginnya tak menyerap hingga ke tulang.
Sampai saat tulisan ini diturunkan, progress pembangunan sudah melewati Minggu ke 24 tanggal 28 Juli lalu. Tahapan pekerjaan, masuk ke Acian dan pemasangan plafond pada langit-langit lantai 1 dan perencanaan rangka lantai 2. Mengingat bangunan ini dikeroyok 3 arsitek, ada beberapa penyesuaian desain akibat keteledoran saya selaku pemilik dan perancang denah awal, yang kurang cermat dalam melakukan uitzet eksisting.
Bangunan dirancang dengan konstruksi 2 lantai, berisikan 5 unit kamar tidur, 2 ruang ganti, 3 toilet/kamar mandi, dapur, gudang kering dan 2 ruang bersama. Meski jika dilihat dari jumlah penghuni yang ada, kelihatannya sih bakalan ada ruang yang tak tergunakan. Yang untuk sementara waktu, bakalan dipakai sebagai gudang penyimpanan barang-barang pindahan hasil packing terdahulu.
Secara penampilan, rumah yang dibangun dengan dana hutangan bank ini kelihatannya bakalan serupa dengan pemilik juga perancang bangun, notabene bertubuh tinggi besar, lengkap dengan kolom megah di awal pandangan mata. Yang secara ilmu Arsitektur, semua juga tahu bahwa itu hanyalah sebuah estetika saja, bukan kebutuhan struktur.
Rencananya sisi depan bakalan dihias dengan batu alam dan tempel, sementara sisi samping utara untuk perwajahan kedua, didesain campur dengan cat, dan sisanya area belakang serta batas tembok tetangga, dibiarkan acian saja. Susah dilihat sepertinya. Meski sebetulnya ada ide untuk dibuatkan mural yang menarik bagi mata untuk dinikmati saat senja.
Di balik megahnya bangunan berlantai, ada peluh pekerja berjibaku dengan debu semen dan tajamnya paku. Entah berapa kepala yang sudah berganti sejak awal rumah ini digarap. Ada yang memilih tinggal di kampung usai Lebaran tempo hari dan menggarap bangunan dekat tempat tinggalnya, ada juga beberapa orang yang hingga hari ini masih bertahan sejak awal tiba, termasuk kepala tukang atau mandornya. Beberapa lainnya, status tergantikan lantaran menurut si perancang bangun, kemajuan pekerjaan yang dilakoni, tak sesuai ekspektasi.
Debu semen, pasir, kerikil juga acian pada pekerjaan terakhir, sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi mata. Mereka bekerja tak kenal lelah selama enam bulan terakhir, tanpa masker, tanpa pengaman. Termasuk kemungkinan tertusuk tajamnya paku saat asyik dengan pekerjaannya saban hari. Peluh mereka dibayar harian, sementara kontrak tak tertulis kami, dibayar borongan.
Rasanya sudah tak sabar melihat bangunan ini selesai dikerjakan, demi menikmati waktu istirahat yang tenang, dan tentu saja kebutuhan bathin akan bilik asmara kelak.
Terkait progress pembangunan rumah sejak awal mula, bisa main ke salah satu playlist di Channel YouTube saya, PanDe Baik.
Comments
Post a Comment