Entah sudah yang keberapa kalinya anak perempuan ini menangis usai diajarkan bapak, hal-hal yang tak ia pahami pada model pembelajaran Matematika kelas 2 SMP. Padahal ia sendiri kini masih duduk di bangku 5 SD. Metode Kumon yang ia tekuni sejak 2 tahun lalu memang beda cara dengan kami lakukan sejak dulu.
Satu hal yang mengagumkan sebenarnya bilamana mengingat kemajuan bahan ajar yang ia dapatkan hingga hari ini, dari tempaan Kumon, tergolong cepat secara sudut pandang saya pribadi sebagai bapaknya. Padahal dulu, saat saya berada di posisi yang sama dengannya kini, saya jauh lebih bodoh dan ngawur dalam menjawab soal dan pertanyaan. Anak sulung ini, lebih mirip uwaknya dalam soal belajar.
Menangani anak perempuan dan remaja, secara katanya ya memang beda. Harus lebih sabar dan hati-hati menurut ibunya. Jangan memaksakan hal sulit bisa diterima oleh psikis anak perempuan yang notabene memang beda jauh dengan anak laki-laki. Minimal dalam memilih kosakata tertentu saat situasi agak menjengkelkan lalu keceplosan. Efek samping bisa dirasakan hingga tiga hari kedepannya.
Meski sebenarnya tak sengaja terucap, namun rambu-rambu dan nasehat lainnya agar ia berhenti sejenak dari rutinitas harian Kumon, kerap saya lontarkan padanya. Kasihan juga bila setiap hari ia dihadapkan pada kertas kerja selama kurun waktu tahunan, biarpun jumlah soal yang diberikan tidak banyak.
Jika dibandingkan dengan masa lalu generasi x dan y, waktu bermain yang melewati jatah harian sepertinya tak pernah ia dapatkan. Akan tetapi jika melihat pada tantangan yang kelak akan ia hadapi, sepenuhnya berserah pada kemampuan yang bersangkutan. Karena kami bukanlah tipe orang tua yang memaksakan target pencapaian di akhir waktu pada si anak.
Merenungi apa yang sudah tersampaikan walau tak sengaja, cukup membuat saya terhenyak mendengar penuturan ibunya pasca anak perempuan ini menangis. Meski secara sudut pandang pribadi masih tergolong sangat wajar, namun bisa jadi tanggapan yang bersangkutan beda makna dengan ceplosan kalimat yang terlontar.
Anak perempuan jauh lebih perasa dari yang Bapaknya sangka.
Benar-benar jadi sebuah dilema baru.
Bisa jadi si Bapak lah yang harusnya mendapat tempaan lembaga pengasuh anak perempuan agar bisa mendidik turunannya kelak.
Comments
Post a Comment