Ditengah hiruk pikuk Piala Dunia 2018 dan segala kekecewaan para suporternya, netizen di Bali dikejutkan oleh Erupsi Gunung Agung yang sudah mulai memuntahkan lahar panasnya. Beberapa kawan di akun sosial media pun mulai tampak ramai mengabarkan duka.
Semua notifikasi WhatsApp Group mendadak nyaring. Seketika itu pula belasan gambar dan video yang sama, diterima sebagai upaya meneruskan informasi kepada rekan yang lain, secara cepat dan saling mendahului, menganggap bahwa ini adalah hal yang wajib diketahui semua orang. Seakan lupa bahwa sekian group diantaranya memiliki karakter keanggotaan yang sama.
Hastag #PrayForKarangasem sepertinya bakalan kembali Viral. Saya meyakini sebagian besar kawan di sejumlah akun sosial media bahkan WhatsApp Group sekalipun, bakalan menyampaikan hal yang sama. Turut berduka dan saling mengingatkan, baik info akurat dari badan bencana, hingga agenda pengumpulan dana untuk disumbangkan ke pos pengungsian kelak.
Seperti mengalami Mimpi Buruk yang terulang. Cukup membuat saya tak bisa memejamkan mata dengan baik malam ini.
Bukan…
Bukan soal kekhawatiran akan keselamatan saudara kami yang ada disekitaran Gunung Agung. Karena mereka, saya yakini sudah melakukan banyak persiapan dari setahun lalu. Termasuk opsi pengungsian yang sudah pula direncanakan dengan baik oleh pemerintah daerah hingga pusat. Pun soal dana bencana dan bantuan, saudara kami yang lain sudah pasti siap dengan logistik dadakan.
Hanya satu yang saya pikirkan.
Kelangkaan Material bagi para pekerja konstruksi di Bali.
Sebagai seorang tenaga teknis, mimpi buruk inilah yang membuat saya begitu down secara pikiran dan mental setahun lalu. Karena semua berakibat pada naiknya harga akibat minim stok persediaan, molornya pekerjaan akibat bahan material yang susah dicari, dan pengenaan opsi denda akibat absennya keputusan pimpinan soal bencana.
Lumayan pusing dalam mengambil setiap keputusan yang ada, mengingat saat itu secara dadakan pula ditugaskan sebagai PPK atau Pejabat Pembuat Komitmen untuk belasan kegiatan fisik jelang akhir tahun. Jadi makin mangkel ketika sejumlah aparat seakan tak mau tahu kondisi dan fakta lapangan, menganggap para pekerja konstruksi ini teledor dalam melaksanakan tugasnya.
Untuk itulah saya berdoa, agar mereka yang dibebankan kewenangan sebagai PPK kegiatan fisik apapun itu bentuknya saat ini, agar tetap bisa diberi kesehatan dan ketabahan dalam mengambil dan memikirkan setiap opsi keputusan, karena disinilah semua integritas kerja dan kinerja kita diuji.
Saya sudah mengalaminya setahun lalu.
Bersyukur, tahun ini saya tak lagi mendapatkan tugas yang sama. Sehingga beban pikiran, bisa dikatakan sudah jauh lebih ringan.
Namun demikian, tetaplah empati itu ada bagi kalian para pekerja konstruksi di Bali.
Comments
Post a Comment