Hari ini tiba-tiba saya teringat dengan nasehat senior saya, yang sudah resign setahun lalu, meninggalkan tugas sebagai abdi negara dan memilih menjadi warga biasa. Keputusan itu diambil saat ia berada pada posisi yang sama dengan kondisi saya hari ini.
Pikiran saya pun jauh melayang disela kesibukan yang makin terasa selama dua minggu terakhir. Dengan adanya tambahan tugas baru dari pimpinan, jadi makin jauh dari keluarga. Utamanya anak-anak dan ‘me time’. Meski lelahnya belum separah tahun lalu, namun perubahan itu mulai agak mengganggu waktu luang yang biasanya ada.
Saya juga jadi teringat pimpinan yang kini berada di balik jeruji. Hanya karena luput menjalankan tugasnya, ia harus meninggalkan keluarga dan melupakan karir yang telah dibangun selama ini. Sepertinya bantuan hukum yang diharapkan tak jua kunjung tiba di depan mata. Semua terkesan meninggalkannya sendirian saat bersua masalah di tengah jalan.
Saya sendiri belum sempat menjenguknya kembali pasca kehilangan kata-kata Kamis lalu.
Bimbang di persimpangan jalan.
Rasanya jika diperbolehkan memilih, lebih baik memiliki waktu luang yang banyak untuk keluarga dan anak-anak ketimbang disibukkan oleh pekerjaan yang meskipun dijalankan dengan benar saja, masih ada celah salah yang dilihat dan dimanfaatkan orang lain untuk menjatuhkan semua usaha dan pengorbanan yang dilakukan. Apalagi dengan sengaja berbuat salah ?
Namun sepertinya pilihan itu tak akan pernah ada ketika jalan belum mapan terbentang untuk masa depan keluarga. Jalan terus.
Lalu mau bertahan sampai kapan ?
Comments
Post a Comment