Ngikut trend cerita generasi 90-an, rasanya saya adalah salah satu diantaranya. Bisa dikatakan hari ini usia dah di kepala tiga, cukup tua kalo ikut-ikutan cerita soal masa kecil.
Tapi asyik juga. Sekali-sekali pengen nginget apa yang dahulu pernah dilakuin.
Cerita masa kecil, masa dimana saya tumbuh besar tanpa gangguan perangkat berlayar sentuh sebagaimana anak-anak saya alami saat ini.
Saya sendiri tumbuh di tengah kota denpasar, dimana tepatnya jalan nangka masih berlalu lintas dua arah.
Bemo roda tiga adalah kendaraan yang lumrah wara wiri namun kini tiada lagi. Kadang diisi penumpang, kadang juga ngiklanin film yang tayang di bioskop sambil melempar lembaran film yang dilipat lipat persegi empat. Satu hal yang saya dambakan saat itu adalah mencicipi es krim yang lewat dengan menggunakan mobil saat duduk nongkrong di warung kerja milik Bapak. Sayangnya kami bukan keluarga berada yang mampu membeli es krim setiap mereka lewat.
Snack atau makanan ringan yang saya sukai ada Mami. Semacam mie goreng yang dikeringkan dan dibungkus dalam kemasan mini. Harganya masih 25 rupiah saja. Kalo ndak salah ingat.
Ada juga permen susu, atau yang berhadiah piring dan lainnya, didapat dengan mencoblos kotak kotak yang ada. Tentu tak pernah terjadi ada pembeli yang memenangkan piring, karena kabarnya itu bonus bagi pedagangnya. Hehehe…
Saya suka main kembungan. Balon yang ditiup berasal dari cairan dalam tube kecil, melalui sedotan seukurannya yang berwarna kuning. Kembungan ini akan kami terbangkan ke langit dan dipukul naik tiap kali turun ke tanah. Sayang, lupa namanya.
Kecil-kecil sudah bisa merokok. Ya, jaman itu sudah ada yang namanya permen manis berbentuk batangan rokok. Kalo diselipkan di mulut bakalan terasa sepet lantaran ada kertasnya. Musti dibukain lalu dikunyah.
Ada juga permen karet Yosan, yang tiap kali beli musti beneran yakin melihat huruf yang tertera dibalik pembungkus permen. Karena kalo kita bisa lengkap memiliki bungkus dengan huruf Y-O-S-A-N itu, bakalan dapat hadiah. dan ngomongin hadiah, satu-satunya hadiah yang pernah saya terima di masa kecil adalah perlengkapan sekolah dari Chiki. Lantaran bisa mengumpulkan lembar bertuliskan C-H-I-K-I dan mengirimkannya ke Jakarta.
Salah satu permainan yang saya gemari waktu kecil dulu ada Guli atau kelereng. Jenisnya banyak, dari yang biasa, putih susu, mini, hingga jumbo. Selain itu ada Tak Til, permainan memukul ranting kayu. Benteng diantara dua tiang rumah atau sekolah. Mengkeb-mengkeban atau petak umpet diantara bangunan pelinggih merajan rumah. Gala atau permainan yang saling menjaga lawan agar tak lewat batas. Atau mobil-mobilan yang diimajinasi dari bahan dan barang bekas di sekitar tempat bermain. Termasuk dari kulit jeruk bali tiap kali ibu membelah buah untuk kami makan bersama.
Bermain tanah, meguyang, hingga baju dan telapak tangan kotor rasanya hampir tiap hari dilakoni. Beda dengan anak jaman sekarang yang kotor sedikit, langsung dicuci pengempunya.
Menggetok kepala sepupu hingga berdarah pun salah satu kenakalan saya saat itu. Entah apa alasannya.
Super hero yang saya gemari di masa itu ada Megaloman. Pahlawan dari negeri sakura ini selalu membunuh dan meledakkan monster musuhnya dengan rambut api miliknya. Ada 9 kaset video yang dirilis untuk satu seri Megaloman. Dan yang paling keren bagi kami adalah kaset ke 8. Kalo ndak salah episode Megaloman yang direbut banyak monster.
Saking sukanya, koleksi gambaran yang dijual sebanyak 36 aksi kalo ndak salah dalam satu lembar besar, yang dipotong dan dipamerkan, menjadi hal yang paling membanggakan diantara kawan. Seri kwartet, empat seri dengan satu tema, kemudian menjadi permainan mengasyikkan sepulang sekolah.
Selain Megaloman, saya menyukai tokoh Lion Man yang berubah menjadi singa. Ya namanya juga Lion. Hehehe… juga Zaabogar yang saya miliki kaset serinya.
Meski lebih sering diantar jemput oleh Bapak saat masih bersekolah di SD 1 Saraswati, sesekali saya berjalan kaki atau bonceng sepeda teman. Namun lantaran dasar saya suka melali sepulang sekolah, sempat satu hari saya disangkakan kena penculikan karena saat itu memang lagi rame-ramenya. Padahal saya jalan kaki main ke rumah orang tua angkat di jalan Suli. Kedua orang tua marah besar ketika saya pulang diantar sopirnya Uwak Odantara.
Saya termasuk anak yang bodoh. dan Cengeng.
Bodoh karena dari SD hingga bangku SMP, tak pernah sekalipun mendapatkan rangking. Apalagi kalo dibandingkan kedua kakak yang begitu dibanggakan orang tua. Kalo mau dicompare dengan Mirah putri saya, yakin dia bakalan jumawa kalo tau bapaknya ini bukan anak yang istimewa di mata guru sekolah. Meski begitu, saya gak pernah mencontek. Seingat saya sih ya. Mungkin karena sukar berbohong karena begitu melakukannya, jadi seperti tersiksa lahir bathin.
Cengeng, lantaran suka menangis tiap kali diejek oleh kawan sekolah dan juga saudara sepupu.
Saya juga tergolong anak yang lemah. Kalo istilah balinya itu, Lempe. Seringkali jatuh dan terluka pada kaki. Ndak heran banyak koreng dan dakinya disitu. Olahraga dijamin dapat urutan akhir kalo soal aerobik. Pula yang mengandalkan kecepatan gerak.
Nyaris tidak punya hobby saat itu. Baru terlihat menginjak smp dengan megambelnya dan menulis mading saat sma.
Anak yang kuper. Kurang pergaulan. Utamanya dengan teman sekolah. Ndak heran tidak banyak kawan sd yang ingat dengan saya. Bahkan ketika bertemu di sanggar tari anak, kawan perempuan yang dulu saya kagumi pun bingung menebak nama saya. Baru ingat pas dikasi clue ‘anak yang paling cengeng di kelas’. Hehehe… sosok saya baru mulai diingat saat masuk smp dan sma gegara tinggi badan yang nyaris setara dengan Cok bersaudara. Itupun diingat lengkap dengan cara berjalan yang lebih banyak menunduk ke bawah lantaran minder, dan kali diajak bicara suka memandang ke arah mana. Aduh…
Kalo diingat-ingat, ada banyak kejadian memalukan yang saya alami atau lakukan di masa kecil. Dari menyebut Kenny G dengan terompetnya, menggunakan dompet hello kitty di bangku smp, hingga banting meja kalo seisi kelas pada ribut. Sementara sd, sering nangis meski gak jelas alasannya.
Maka itu berapa kali diajakin reuni sekolah, saya malas datang. Karena masa kecil saya itu gak asyik banget.
Mencuri.
Saya sering mencuri saat kecil dulu.
Hanya karena tidak pernah mendapatkan apa yang diinginkan, maka itu saya mencuri.
Dari uang milik Bapak yang ditaruh diatas lemari, untuk jajan sepulang sekolah. Atau majalah di agency dekat rumah hanya karena ingin membacanya. Parah memang…
Baru jera ketika ketahuan.
Dimarah Bapak dan Ibu.
Jadi jangan heran, ketika saya mulai bisa menghasilkan uang sendiri, nyaris semua yang dulu saya ingin miliki, dibeli demi kepuasan sesaat. Misalkan ya pergantian ponsel selama ini. Hehehe…
Berhubung saya banyak minusnya, dan juga gak punya gaya gaul lantaran bukan berasal dari keluarga berada, saya pun merasa minder dan malu saat berhadapan dengan lawan jenis. Ditolak berkali-kali sih sudah biasa. Jadi jangan heran juga kalo pacaran pertama baru terwujud di akhir masa kuliah. Sebelumnya itu musti puas naik sepeda/motor tanpa gandengan.
dan terakhir, saya tidak memiliki kawan bicara sejak kecil. Bisa jadi karena dari segi umur antara saya dengan kedua kakak, terpaut jauh. Sehingga banyak istilah yang miss understanding terlontar jaman itu. Seperti misalkan mengatai ‘Perek’ ke kakak perempuan yang kini telah almarhum, hanya karena tidak mau meminjamkan buku seri Lupus saat ingin membacanya. Pas tau artinya, saya langsung mengunci diri di kamar sampai malam.
Bisa juga lantaran saudara sepantaran hanya ada 3 saja, dan dua diantaranya melewatkan masa kecil jauh dari rumah. Satu sisanya, jarang diberi ijin bermain dengan saya oleh kakak-kakaknya. dan ia meninggal saat kami beranjak remaja.
Itu sebabnya saya menikah di umur 26. Karena tidak ada yang saya ajal bicara sepulang kerja. dan kini memiliki 3 anak dengan jarak umur yang agak berdekatan agar mereka nantinya tak mengalami apa yang saya alami dulu.
Ah, cerita masa kecil…
Sedih dan harus kuat untuk bisa mengakuinya…
Comments
Post a Comment