Di awal kesuksesan era internet dan dunia maya, ada sejumlah kekhawatiran dari para penerbit buku, majalah, koran dan media cetak lainnya akan kebangkrutan produksi akibat menjamurnya upaya digitalisasi demi memudahkan masyarakat yang merupakan pangsa pasar utama mereka, menikmati sajian dalam layar ponsel, tablet dan gawai lainnya yang belakangan secara harga sudah mulai terjangkau oleh kantong.
Hal ini dibuktikan oleh tumbangnya satu persatu media cetak termasuk penerbit, akibat ketidakmampuan memenuhi biaya operasional yang tidak lagi berbanding lurus dengan pembelian. Tidak hanya di lokal negara kita tapi juga global.
Akibatnya bisa ditebak. Kini sudah semakin jarang kita melihat orang-orang disekitar yang membaca buku atau media cetak sejenis saat senggang ataupun menunggu di tempat-tempat publik, bahkan bisa jadi termasuk kita sendiri. Informasi kini sudah dengan mudah didapat dari dunia maya. Buku atau majalah bahkan koran digital, liputan terkini oleh portal berita online, atau hal-hal yang dahulunya sulit kita dapatkan informasinya, kini sudah ada halaman blog personal yang siap membantu. Entah melalui opini yang bersangkutan atau liputan secara langsung.
Menurunnya minat baca pada media cetak membuat sebagian kalangan lalu seperti kebakaran jenggot, ketika menyadari bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki minat baca rendah ketika disandingkan dengan sejumlah negara di belahan dunia lainnya, bahkan lebih rendah ketika dibandingkan dengan negara tetangga pada lingkup wilayah yang lebih kecil. Semua mulai saling menyalahkan.
Ini saya sadari betul ketika melakukan beberapa perjalanan dinas keluar kota, termasuk yang terparah diantaranya adalah saat menanti keberangkatan pesawat Lion Air semalam di ruang tunggu Gate B7. Dimana semua, ya, semua orang yang ada di sekeliling saya berdiam diri, tak ada lagi yang tampak memegang koran ataupun buku dalam bentuk cetak. Digantikan oleh perangkat genggam maupun yang berlayar lebar, untuk mengakses sejumlah informasi yang berasal dari sosial media, portal berita, group chat, hingga penyedia edisi digital lainnya, bahkan untuk beberapa kakek nenek yang sudah berusia lanjut sekalipun.
Semua tampak asyik menatap layar gawai masing-masing tanpa pernah lagi peduli atau berbicara dengan kawan atau tetangga yang duduk di bangku sebelahnya.
Ya, ini adalah salah satu imbas negatif lainnya yang dihasilkan oleh kesuksesan internet dan dunia maya.
Maka itu, sejak awal perjalanan yang pernah saya lakukan di sepanjang tahun 2016 ini, selalu ada beberapa buku atau majalah atau tabloid yang saya bawa, ikut serta membebani tas ransel atau koper yang disandang. Tujuannya ya sederhana, ingin mengembalikan semangat minat baca saya yang sudah sedemikian lama hilang dari rutinitas yang ada, selain ada juga upaya lain untuk meminimalkan penggunaan gawai saat senggang atau masa menunggu, yang biasanya berpotensi menghabiskan daya tahan batere lebih jauh meski dalam masa kekinian sudah ada perangkat tambahan lain macam power bank yang siap menemani.
Karena bagaimana pun juga, ketika mata atau pikiran sudah mulai lelah membaca buku, tak akan ada upaya lain yang bisa dilakukan selain bercengkarama dan bersosialisasi dalam arti sebenarnya, dengan orang yang ada disebelah atau sekitar kita.
Satu hal yang sudah mulai hilang dalam hidup kita masing-masing selain minat baca buku tadi.
Bagaimana pendapat kalian kawan ?
Comments
Post a Comment