Skip to main content

Chef dan Burnt, Hanya Mencoba Membunuh Bosan

Entah sudah kali ke berapa saya mengeluhkan soal kepenatan dan jenuh yang saya rasakan sejauh ini. Baik atas beban kerja, rutinitas dan persoalan sosial yang seolah tiada habisnya.
Maka ketika itu sudah mencapai puncak dari segala yang dirasakan, sepertinya sudah saatnya untuk menikmati tontonan baru disela kesibukan dan kebosanan yang melanda.

Adalah Chef (2014) film bertemakan soal masakan, masak dan memasak yang dibintangi oleh supirnya Iron Man, dimana berdaulat sekaligus sebagai sutradaranya, maaf saya lupa namanya, yang sejak awal dikisahkan sebagai seorang koki sebuah restoran ternama penuh kekangan dari sang pemilik hingga nyaris tak pernah mengeksplorasi kemampuannya untuk para penikmat lainnya. Kalo ndak salah paham sih, upaya coba cobanya hanya dilakukan saat hari terang sebelum usaha restoran dibuka. Itupun hanya dinikmati oleh asisten koki.
Masalah hadir saat kritikus masakan hadir dan menyampaikan ketidakpuasan yang bersangkutan atas kesamaan menu sang koki selama sepuluh tahun terakhir.
Makin menjadi saat si koki berkenalan dengan akun twitter melalui sang anak dan menganggapnya sebagai personal akun sebagaimana laiknya sms, dimana pesan yang dikirimkan hanya bisa dibaca oleh si penerima. Hehehe…
Maka usai mengacaukan semuanya, si koki pun banting setir berjualan dijalanan menggunakan konsep Food Truck atas bantuan si Iron Man yang disini diceritakan berperan sebagai mantan suami sang mantan pacar/istri koki.

Ceritanya ringan dan berjalan tanpa ada klimaks pasca marah marahnya si Koki pada kritikus yang direkam pengunjung restoran dan menjadi viral di YouTube.
Bagi kalian yang tumbuh besar di era Internet masa kini, yakin banget gak bakalan kesulitan mengikutinya kok.

Lalu ada Burnt (2015), kisah sekumpulan koki seperjuangan yang dibintangi Bradley Cooper, sebelumnya beken lewat film Hangover. Menjadi seorang Adam Jones, koki ternama kota Paris yang tenggelam dalam narkoba dan kini mencoba kembali meraih kesuksesannya di London.

Jika Chef berkisah soal perjalanan koki turun ke jalanan dari kota satu ke kota lain mengeksplorasi kemampuannya mengkreasi fast food pinggiran, Burnt lebih pada persoalan mengemas tampilan sajian menu untuk dapat meraih bintang penilaian yang lebih tinggi dari para kritikus makanan. Selain persaingan antar koki seperjuangan itu.
Sedikit lebih berat, tapi lumayanlah untuk membunuh rasa bosan yang ada.

Satu hal yang dapat dipetik dari Chef maupun Burnt adalah soal kegigihan berusaha, yang seharusnya sih juga ada dalam rutinitas dan pekerjaan yang saya geluti. Tapi yah… Perjalanan saya kan bukan film, yang ending storynya belum tentu bisa happy macam itu.
Hmmm…

Comments

Postingan Lain

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dil...

Menantu Mertua dan Calon Mertua

Menonton kembali film lama Meet the Parents (2000) yang dibintangi oleh Ben Stiler dan Robert De Niro, mengingatkan saya betapa terjalnya perjalanan seorang calon menantu untuk mendapatkan kepercayaan sang calon mertua, atas putri kesayangan mereka yang kelak akan diambil menjadi seorang istri dan pendamping hidup. Meski ‘kekejaman’ yang ditunjukkan oleh sang calon mertua dalam film tersebut *sosok bapak* jauh lebih parah dari yang saya alami, namun kelihatannya cepat atau lambat, akan saya lakoni pula nantinya. Memiliki tiga putri yang salah satunya sudah masuk usia remaja, adalah saat-saat dimana kami khususnya saya sudah sewajarnya masuk dalam tahapan belajar menjadi seorang kawan bagi putri sulung saya satu ini. Mengingat ia kini sudah banyak bertanya perihal masa lalu yang saya miliki, baik soal pendidikan atau sekolah, pergaulan dan hobi. Memang sih untuk urusan pacar, ia masih menolak berbicara lebih jauh karena berusaha tak memikirkannya, namun sebagai seorang Bapak,...

Pengetahuan kecil tentang soroh PANDE

Sekali-sekali saya selaku penulis seluruh isi blog ini pengen juga ber-Narzis-ria, satu hal yang jarang saya lakukan belakangan ini, sejak dikritik oleh seorang rekan kantor yang kini jadi malas berkunjung lantaran Narzis tadi itu.  Tentu saja postingan ini bakalan berlanjut ke posting berikutnya yang isinya jauh lebih Narzis. Mohon untuk dimaklumi. *** PANDE merupakan salah satu dari empat soroh yang terangkum dalam Catur Lawa (empat daun teratai) Pasek, Pande, Penyarikan dan Dukuh- yang memiliki keahlian dalam urusan Teknologi dan Persenjataan. Ini bisa dilihat eksistensi pura masing-masing di Besakih, yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dalam berbagai kegiatan Ritual dan Spiritual. Dimana Pura Pasek menyediakan dan menata berbagai keperluan upakara, Pura Pande menata segala peralatannya. Pura Penyarikan menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur. Sedangkan Pura Dukuh Sakti sebagai penata berbagai keperluan sandang pan...

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie.