Thailand. Dua tahun lalu kalo ndak salah saya mengunjungi negara ini untuk pertama kalinya. Kini tanah negeri gajah kembali dijejakkan dengan modal menabung selama setahun bersama rekan seruangan kantor.
Lima belas orang, termasuk orang tua salah satu staf di kantor, ipar dan putra semata wayang mereka. Tentu anggota tambahan ini diikutkan dengan dana pribadi masing-masing.
Tidak banyak yang berubah.
Kota Bangkok, destinasi pertama kunjungan kami ini masih tetap bersih. Baik dari sampah di sepanjang jalan, maupun sejauh mata memandang. Tak ada baliho iklan yang berlebihan, apalagi pamer wajah tengik para petinggi ormas. Hanya foto Raja dan Ratu mereka saja yang menghiasi wajah kota, dibingkai lapisan warna emas dan bunga warna warni. Denpasar seharusnya mampu melakukan hal yang sama.
Di sepanjang jalan yang kami lalui baik dengan bus pariwisata maupun berjalan kaki, suguhan para pedagang kaki lima pun masih tetap sama. Buah-buahan segar, sate ayam, babi dan cumi yang dikemas dalam berbagai bentuk, atau jajanan khas Thailand yang siap menggoyang lidah dan tentu saja dompet kita. Dengan rata-rata harga 10 Baht (setara 4500 rupiah jika nilai tukar ditetapkan 450 rupiah per Baht-nya), kita sudah bisa menyantapnya baik dengan bumbu saos atau sambal khas Thailand yang pedasnya aneh.
Saya sempat kapok mencicipinya, dan memilih untuk beralih ke Chili merah yang rasanya jauh lebih familiar.
Hal yang sama juga saya temui di salah satu destinasi hiburan Nongnooch. Dari segi penataan lokasi hiburan maupun tempat tempat membeli souvenir dan makanannya pun masih tak banyak berubah. Hanya kelihatannya ragam objek dan tamannya saja yang bertambah banyak. Meski ternyata tempat makan yang dahulu kami gunakan untuk bufeet bersama banyak orang, kini sudah jauh lebih nyaman dan bersih.
Tapi ada yang unik. Sepanjang rute yang kami lewati, rasanya tak satupun ditemukan jenis kendaraan niaga murah macam Avanza atau Xenia, apalagi Splash, Karimun dan sejenisnya.
Hanya kendaraan jenis sedan dan double cabin berbagai brand hadir memenuhi jalanan Bangkok hingga Pattaya. Bahkan pedagang sayurpun saya lihat menggunakan model Hilux disini.
Apa itu artinya Avanza adalah barang mahal di seputaran Thailand ya ?
Thailand identik dengan sosok Gajah. Dimana-mana bisa ditemukan wajah binatang bertelinga lebar ini. Baik kuil, gerbang, mainan, souvenir hingga baju kaos. Tapi begitu masuk ke area Tiger Zoo… aura garang macan pun mulai terasa. Maka rasanya belum lengkap jika saya belum mengambil gambar memegang si loreng. Aum… Nekat juga ternyata.
Soal objek wisata yang kami kunjungi kali ini, sedikit berbeda dengan yang saya kunjungi sebelumnya. Jika dahulu lebih banyak mencoba jalur transportasi, kini lebih banyak ke hiburannya. Mengabulkan keinginan ibu-ibu untuk berselfie di venue venue mengagumkan.
Jika yang lain memilih mengikuti agenda tour bersama Isman leader kami, saya pribadi memilih untuk mencoba hal lain diluar yang pernah dikunjungi sebelumnya.
Bianglala di seputaran Asiatique misalnya. Dengan 300 Baht, kita bisa menikmati pemandangan kota Bangkok tepi sungai, sekitar enam kali naik turun.
Demikian pula dengan menjelajah Nongnooch Pattaya sambil menurunkan asupan makan yang dicerna sesaat setibanya di lokasi. Atau menghabiskan waktu untuk foot massage dengan wanita kawe satu didepan gedung pertunjukan Alcazar show, dan berjalan-jalan di seputaran Bang Up untuk melemaskan kaki yang sudah lama tak pernah diajak berolah raga. Nikmati saja semua waktu yang ada.
Thailand kini juga sudah mulai ramah terhadap pengunjung yang memiliki keterbatasan fisik. Di beberapa objek wisata saya lihat sudah ada yang menyediakan ramp sebagai akses bagi pengguna kursi roda hingga toiletnya pun ada. Bandingkan dengan objek di negara kita yang kerap mengabaikannya.
Sayangnya, salah satu objek ternama yang kami kunjungi dengan cara menyeberangi sungai terlebih dahulu, sedang direnovasi oleh Pemerintah. Yang informasinya dilakukan secara rutin demi menjaga keutuhan candi yang telah dibuat ratusan tahun lalu itu. Satu perhatian besar dari Pemerintah tentu saja. Apalagi jika dibandingkan dengan perhatian atau dukungan yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat kita di Indonesia. Boro-boro direnovasi. Yang ada malahan dihancurkan karena dianggap berhala. Aduh…
Destinasi berikut masih ada Wat Phoo dimana terdapat Budha tidur dengan ukuran besar, dan saya melewatkan semuanya untuk berdoa serta membagikan koin di 108 kendi kecil. Harapan sederhana bagi keluarga dan masa depan.
Ada juga SilverLake, pengolahan Wine berbahan dasar anggur yang lingkungan sekitarnya ditata dengan baik sehingga membuat pengunjung betah berlama lama baik untuk beristirahat maupun pose selfie. Demikian halnya laser Budha dan satu dua mall yang dilewati, untuk membeli tambahan oleh oleh yang sedikit berkelas
Sayangnya di akhir kunjungan, kami dikejutkan oleh ledakan bomb yang menghajar Erawan Shrine, sebuah kuil Hindu dengan empat wajah Brahma sekitar pukul 18.55 waktu setempat. Menewaskan sedikitnya 19 orang dan melukai seratusan lainnya. Padahal objek wisata ini sebenarnya akan dikunjungi di sesi terakhir, namun karena hari sudah mulai senja dan menimbang banyak hal lainnya, kami tak lagi main kemana mana.
Maka wajar, jika kami bersyukur tidak mengalami hal yang kurang berkenan bagi semua orang itu.
Cerita selanjutnya mungkin bisa saya kisahkan kembali di lain waktu, dan di lain posting. So, jangan segan untuk mampir kembali si halaman ini yah. Thank you…
Comments
Post a Comment