Saat daratan mulai terlihat dari kaca jendela pesawat, mata tertumpu pada satu area luas yang lebih mirip Galian C, berada di pinggiran jalan besar dua lajur namun masih minim kendaraan. Selengang inikah Kota Palembang ? bathinku saat itu…
Tidak salah memang jika hal tersebut terlintas di benak untuk beberapa saat. Yang ada hanya satu dua kendaraan roda dua terlihat melintas tanpa teman. Segera saat mata tertumpu pada ujung jalan yang masih berupa tanah dan tertutup lahan, oh… ini jalan baru yang belum dibuka rupanya.
Hal ini akhirnya terungkap saat bapak Agung Nugrogo, Kepala Dinas Kebersihan Kota Palembang bercerita tentang usaha mereka dalam mengatasi sampah, drainase dan permukiman kumuh. Paparan atas beberapa pertanyaan dan apresiasi yang kusampaikan di sela kunjungan kami, tahap Benchmarking Diklat PIM IV Kabupaten Badung ke kota Pempek sedari Senin lalu.
Terima Kasih juga pada mata dan ingatanku. Karena masih bisa mengingat nama jalan Kapten Rivai, dimana saat kami melintas, beberapa titik dalam ruas itu rupanya masih dalam tahap galian. Infonya sih galian itu baru boleh dilakukan, pasca penilaian kebersihan kota untuk meraih Adipura Kencana tempo hari. Hebat jika memang koordinasi antar instansi bisa terwujud sedemikian rupa.
Yang Unik kami temui di sepanjang jalan Kota Palembang adalah… gedung gedung tua yang rata-rata dimanfaatkan secara optimal untuk kantor-kantor pemerintahan dari UPT Dispenda hingga paling tinggi Kantor Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Kota Palembang.
Untuk kantor Walikota misalnya. Dulu gedung ini dinamakan kantor Ledeng. Kurang lebih begitu saat jaman kolonial dahulu. Oleh pak Walikota kemudian direnovasi sedikit hingga tampilannya jadi jauh lebih bersih dan rapi. Demikian halnya dengan gedung Kantor Perijinan yang luarnya masih berupa gedung tua bersejarah, namun dalemannya sudah dipoles sedemikian modern dan lapang. Sangat nyaman tentu saja jika digunakan untuk bekerja dan pelayanan kepada masyarakat.
Pemanfaatan gedung tua ini mengingatkan saya pada Kota Bandung (bukan Badung loh ya) dan Buleleng. Makanya sempat terkagum kagum menyaksikan deretan bangunan tempo dulu yang hingga kini masih dihuni dan dijaga dengan baik.
Cuma sayangnya sih, sebagian besar rumah rumah yang ada, termasuk Rumah Panggung, ketinggian level lantai rumah sama tingginya dengan halaman dan jalan raya. Hal ini sempat pula saya amati saat bertandang ke daerah seputaran Jawa. Kira-kira apa mereka gag pernah mengalami kebanjiran atau genangan air masuk rumah ya ?
Panas. Yak… di Kota Palembang ini soal cuaca bisa dikatakan sedikit lebih panas ketimbang cuaca di kota asal, Denpasar. Entah apakah disini masih minim pohon perindangnya, masih minim perkerasannya (rata-rata masih berupa tanah sebagai halaman depan gedung), atau apa… Mungkin yang paham bisa sharing cerita disini. Dan itu sebabnya, air mineral jadi hal terpenting yang selalu ada dalam genggaman setiap kali kami melintasi ruas jalanan Kota Palembang. Fiuh…
Jika dalam posting sebelumnya saya sempat ceritakan beberapa kuliner asyik untuk dicoba, kali ini ada satu lagi yang kelupaan dibagi ceritanya. Es Kacang Merah.
Sedari awal saya mengabarkan keluarga bahwa tujuan area Perubahan untuk kegiatan Benchmarking kami adalah Kota Palembang, Ibu (kandung) saya berpesan, jangan lupa untuk mencoba yang namanya Es Kacang Merah.
Es Kacang Merah ini sebenarnya gag jauh beda dengan Es Awal yang dulu bisa ditemui dagangannya di pasar Senggol Kumbasari sisi pojokan Barat Daya, dimana penjualnya (maaf) seorang banci. Dagangan itu sangat laris lantaran es yang dijual berisikan beberapa butir kacang merah yang direbus. Uenak tentu.
Racikan utamanya adalah es Serut halus, dengan campuran santan dan susu. Ditambah kacang merah didalamnya. Es ini awalnya saya temui di restaurant hotel yang kalau tidak salah dua kali menyajikannya. Dan terakhir saya nikmati, saat makan malam di Pempek Candys, dan berharap masih bisa saya temui saat pulang ke Denpasar nanti. Infonya sih, ada dijual tuh di seputaran jalan Noja Denpasar. He…
Ohya, kami menginap di Hotel Arya Duta selama berada di Kota Palembang. Sebuah hotel yang dikeliling tiga mall besar dari Carrefour, Matahari Hypermart sampai Palembang Square. Disebelahnya, ada pula Rumah Sakit Siloam dan Kantor Polisi yang ada diseberang jalan, pilihan alternatif bagi mereka yang kehabisan uang. Bisa menitipkan dirinya untuk dikirim pulang ketimbang jadi gelandangan. *eh
Saya pribadi menempati kamar 903 bersama bapak Suyasa, rekan kerja dari Dinas Pertanian yang sejak awal memang sudah jadi tandem saya satu kamar. Salah satu lantai favorit yang kerap dikunjungi adalah lantai 3. Tempat dimana kolam renang dan sauna berada. Cuma efeknya, musti mengorbankan satu celana untuk basah selama melakoni rutinitas berendam dan hanya dijemur di pintu kamar mandi hingga pulang kembali.
Kota Palembang mirip dengan Kota Denpasar. Alasannya bisa dibaca di postingan sebelumnya. Ini saya ambil kesimpulan saat mencoba berjalan-jalan pagi sebelum beraktifitas dan sarapan, dengan rute jalan seputaran hotel.
Tapi sempat kaget juga pas hari selasa atau rabu kemarin yah, saat jalan jalan saya di-stop beberapa polisi lalu lintas yang terlihat ramai di seputaran hotel dan pinggiran jalannya. Rupanya mereka bertugas untuk menjaga keamanan hotel saat itu, berhubung pak Jokowi, ibu Megawati dan pak Surya Paloh berada di hotel yang sama dalam rangka kampanye. Eh pantesan tadinya sempat liat beberapa kendaraan merah terparkir rapi di lobby hotel.
Sayangnya, meski sempat ditunggui, saya rupanya belum beruntung bisa bertemu Beliau. Malahan beberapa kawan yang makan paginya terlambat dari yang lain, ternyata bisa berfoto bareng dan membanggakannya pada kami. Ealah… nasib nasib…
Comments
Post a Comment