Skip to main content

Sebuah Cerita saat Nyepi

Setiap umat beragama memiliki satu hari perayaan Tahun Baru yang jatuh di hari tertentu, demikian pula halnya dengan umat Hindu.

Nyepi. Demikian kami menyebutnya.

Hari Raya Nyepi merupakan hari dimana kami umat Hindu mematuhi empat larangan yang tampaknya kian hari kian disesuaikan atau malah dilanggar. Amati Geni, tidak menyalakan api, tapi tetap memasak atau menyalakan lampu meski secara sembunyi-sembunyi. Amati Karya, tidak melakukan pekerjaan, tapi tetap beraktifitas seperti biasa, bahkan sebagian tetap lembur dengan tugas kantor meski berada di rumah. Amati Lelungan, tidak bepergian, namun sesempatnya berkunjung ke rumah saudara atau tetangga sebelah rumah hanya untuk bertukar  cerita, dimana di hari biasa rasanya kami tak sempat melakukannya. dan terakhir, Amati Lelanguan, tidak mengadakan hiburan, namun tetap menonton televisi, meceki dan sebangsanya.

Benar tidaknya gambaran diatas ya kembali pada lingkungan sekitar kalian dan kesadaran diri. Namun setidaknya, itu yang kami rasakan hingga kini.

Nyepi bagi saya pribadi, adalah hari yang paling dinanti karena di hari inilah saya bisa menikmati hari tanpa keramaian lalu lalang kendaraan, mendengar kicau burung dengan jelas, bahkan tawa canda ponakan sekalipun mereka berada didalam kamar tidurnya.

Saat masih seusia mereka, Nyepi adalah hari dimana kami berlomba-lomba bangun pagi untuk segera duduk nongkrong di jalan depan rumah, sambil bermain bola hingga didatangi pecalang di lingkungan banjar. Jika pecalangnya kami kenal, biasanya setelah dilarang, kami akan kembali keluar rumah saat ia pergi. Begitu terus hingga kami lapar, pulang dan mandi.

Di usia sekolah, kami masih sempat untuk melakukan puasa, tidak makan dan tidak minum, selama 12 jam, 24 jam hingga 36 jam sesuai kemampuan, lantaran diwajibkan oleh Ibu Guru agama kami (kalo gag salah ingat, namanya Ibu Dayu Puniadhi), dan akan dipastikan kembali usai Nyepi. Puasa mulai jarang dilakukan seiring kebiasaan para ibu yang memasak secara besar-besaran atau berlebih, dan mulai merasa kasihan jika semua tersisa di malam hari. Hehehe…

Jenis makanan atau masakan yang ada setiap Hari Raya Nyepi, dapat dipastikan serupa antara satu keluarga dengan lainnya, yang membedakan hanya pendampingnya saja. Ada yang punya tape, kacang, jajanan kering atau kue buah untuk mempercepat penghabisan pasca meprani sehari sebelumnya. Ini belum termasuk penganan kecil lainnya hasil borongan di supermarket beberapa hari sebelumnya. Ini mengingatkan saya pada ‘kearifan lokal (demikian seorang kawan menyebutkannya), dimana sebagian masyarakat merasa perlu untuk menimbun pasokan makanan seminggu guna mengisi ‘satu’ hari Nyepi.

Disamping berpuasa, sebenarnya usai melakukan sembahyang pagi, kami diharapkan membaca buku agama atau kitab suci demi membersihkan pikiran kembali ke awal mula. Namun lantaran bosan, materi yang dibacapun jauh berubah. Dari majalah di saat sekolah dulu, hingga portal detik dan akun jejaring sosial saat era internet kini.

Bosan yang lahir sepanjang hari Nyepi datang karena hawa diluaran cukup panas bahkan menyengat (entah berbeda jika kami memiliki AC dirumah), dan waktu yang berjalan terasa lebih lambat dari biasanya. Maka, pilihan untuk tidur dan beristirahat sepanjang hari lebih dipilih sebagai cara melewatkan waktu dengan cepat.

Di sela waktu, kami masih menyempatkan diri untuk mengirimkan ucapan selamat merayakan Nyepi pada sanak saudara, teman hingga relasi kantor. Dari jaman kartu pos, telegram, hingga sms jadul dengan satu penerima, berkembang kini lewat whatsapp, BBM atau jejaring sosial seperti FaceBook dan Twitter. Namun untuk mereka yang jarang beraktifitas di era internet ini, sarana sms-lah yang kelihatannya masih tetap bermanfaat. Tidak usah terlalu panjang mengucapkannya, toh usai kata ‘semoga’, sudah sangat jarang dibaca pihak tujuan, bahkan cenderung copy paste dari kawan lain. Yang penting ada nama pengirim, agar yang dituju minimal yakin kenal dengan si pengirim. Hehehe…

Di sore hari Nyepi, rutinitas pagi di hari yang sama kembali terulang. Disini jumlah orang yang hadir di sisi jalan malah semakin banyak, termasuk para orang tua yang memilih untuk saling mengunjungi dan bertegur sapa satu dengan lainnya. Bahkan, ada juga yang sepengetahuan kami berada di luar pulau, kini bertemu dan ikut merasakan sepinya Nyepi di jalanan kami.

Saat menjelang malam, biasanya kami kaum laki-laki mulai mengenakan pakaian adat dan membawa senter untuk melakukan ronda keliling desa, secara berkelompok. Mengingat sendirian, bukanlah ide yang bagus untuk menyembunyikan kedok keinginan berjalan-jalan keluar rumah. Di malam hari, biasanya kami banyak menemukan sekelompok orang lainnya yang memilih duduk di tengah jalan, ngobrol kesana kemari dan menyapa.

Dalam menjalani aktifitas Nyepi, biasanya sih ada aja orang-orang yang merasa terusik dengan heningnya suasana sepi baik siang maupun malam hari, terutama yang belum terbiasa dan merasa terjebak lantaran gag ada aktifitas lain yang bisa diperbuat. Orang-orang ini biasanya merupakan orang yang tidak memiliki toleransi dan rasa sadar pada diri sendiri maupun orang lain, maka itu kerap memantik api permusuhan lewat jejaring sosial yang secara sengaja dilontarkan dan menimbulkan bully atau caci maki baik dari umat Hindu maupun umat lainnya.

Beberapa kejadian unik pun ada di berbagai wilayah adat, seperti penemuan seekor ular sanca berukuran  besar yang naik dari selokan dekat banjar, atau penangkapan warga yang kedapatan melaju dengan sepeda motornya, lantaran tidak tahan dengan sepinya jalan raya, membumbui cerita tentang Nyepi yang ada di sekitar kita.

Dan jelang tengah malam, satu-satunya penerangan yang kami andalkan adalah lampu kamar tidur tengah yang secara kebetulan berada di tengah-tengah rumah, sehingga nyala lampu yang ada mampu menerangi sedikit area sekitarnya meski tak sampai terlihat dari luar. Di ruangan inilah, kami menempatkan bayi agar tidak rewel saat dininabobokan.

Cerita saat Nyepi tentu saja berbeda antar satu keluarga dengan keluarga yang lain. dan kali ini tentu saja Cerita saat Nyepi dari kami.

Comments

Postingan Lain

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dilengkapi lagi. 

Menantu Mertua dan Calon Mertua

Menonton kembali film lama Meet the Parents (2000) yang dibintangi oleh Ben Stiler dan Robert De Niro, mengingatkan saya betapa terjalnya perjalanan seorang calon menantu untuk mendapatkan kepercayaan sang calon mertua, atas putri kesayangan mereka yang kelak akan diambil menjadi seorang istri dan pendamping hidup. Meski ‘kekejaman’ yang ditunjukkan oleh sang calon mertua dalam film tersebut *sosok bapak* jauh lebih parah dari yang saya alami, namun kelihatannya cepat atau lambat, akan saya lakoni pula nantinya. Memiliki tiga putri yang salah satunya sudah masuk usia remaja, adalah saat-saat dimana kami khususnya saya sudah sewajarnya masuk dalam tahapan belajar menjadi seorang kawan bagi putri sulung saya satu ini. Mengingat ia kini sudah banyak bertanya perihal masa lalu yang saya miliki, baik soal pendidikan atau sekolah, pergaulan dan hobi. Memang sih untuk urusan pacar, ia masih menolak berbicara lebih jauh karena berusaha tak memikirkannya, namun sebagai seorang Bapak, ya wajar s

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie. 

Pengetahuan kecil tentang soroh PANDE

Sekali-sekali saya selaku penulis seluruh isi blog ini pengen juga ber-Narzis-ria, satu hal yang jarang saya lakukan belakangan ini, sejak dikritik oleh seorang rekan kantor yang kini jadi malas berkunjung lantaran Narzis tadi itu.  Tentu saja postingan ini bakalan berlanjut ke posting berikutnya yang isinya jauh lebih Narzis. Mohon untuk dimaklumi. *** PANDE merupakan salah satu dari empat soroh yang terangkum dalam Catur Lawa (empat daun teratai) Pasek, Pande, Penyarikan dan Dukuh- yang memiliki keahlian dalam urusan Teknologi dan Persenjataan. Ini bisa dilihat eksistensi pura masing-masing di Besakih, yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dalam berbagai kegiatan Ritual dan Spiritual. Dimana Pura Pasek menyediakan dan menata berbagai keperluan upakara, Pura Pande menata segala peralatannya. Pura Penyarikan menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur. Sedangkan Pura Dukuh Sakti sebagai penata berbagai keperluan sandang pangan,