Rasanya kondisi pikiranku selama sebulan terakhir ini memang perlu dipertanyakan kembali, mengingat rata-rata kegalauan itu lebih kerap menghampiri ketimbang rasa senangnya… entah apa yang menyebabkan.
Barangkali jika boleh aku mencari kambing hitamnya, hal pertama yang bisa dijadikan alasan adalah ketidaksiapanku untuk tampil sebagai pejabat, meski kategori pejabat rendahan sekalipun. Pelantikan yang dilakukan per tanggal 29 April lalu benar-benar membuat suasana hati dan hari-hariku menjadi kelam, satu hal yang jujur saja tidak aku duga sebelumnya.
Oke, diluar sana memang banyak yang menginginkan hal ini bisa digapai dalam waktu singkat, sekalipun dengan menggadaikan semua harta yang dimiliki, kemudian girang bukan main saat semua terwujud, namun tidak demikian halnya denganku. Aku malah menganggap bahwa apa yang aku dapat merupakan sebuah beban. Satu hal yang jujur saja membuat aku nelangsa dari hari-ke hari.
Banyaknya pekerjaan, luasnya lingkup dan masalah yang datang silih berganti serta ratusan dokumen yang harus ditandatangani, praktis membuat semua kekacauan dalam rutinitas sebelumnya. Demikian halnya dengan kualitas dan waktu tidur yang tak lagi nyenyak aku rasakan.
Hampir setiap sore dan pagi berikutnya beban itu datang menghantui, dan ada rasa kekhawatiran bahwa satu saat ada beberapa pekerjaan yang akan menyulitkanku dalam usaha mengambil sebuah keputusan. Hadapi saja ? tentu… namun tetap saja membuatku khawatir setiap harinya…
Hal kedua yang kini makin menghitamkan hariku adalah kepergian kakak almarhum, yang meski hingga akhir masa perjalanannya sudah kudampingi dengan sepenuh hati, namun yang namanya rasa tetap saja hadir. Bahkan saat melihat deretan foto yang ada dalam perangkat tablet Galaxy Tab 7+ ini, ingin kubuang dan kuenyahkan jauh-jauh dari pandangan, agar tak lagi datang membuat pedih semuanya. Mungkin benar adanya bahwa aku harus melalui ini semua dengan cepat dan kembali pada kesibukanku untuk melupakannya, apa daya semua seperti batu besar yang menghimpit dada. Tak dapat kulepas begitu saja dan pergi menjauh.
Hal terakhir tentu saja keluarga. Untuk yang satu ini memang agak riskan saya ceritakan, namun jika tidak diceritakanpun bakalan tetap menjadi beban, jadi apakah harus saya ceritakan dissini ? *fiuh
Namun yang pasti, inti dari hal terakhir adalah persoalan minimnya komunikasi antara Mertua dan Menantu, yang menjadikan posisi saya bagaikan Pelanduk yang mati di tengah-tengah secara perlahan jika ini sampai tidak ditangani denngan segera. Entah siapa yang harus dibela. Yang satu Ibu Kandung, satu lainnya Istri sendiri…
Tiga hal ini benar-benar menyita perhatian dan menguras energi, banyak yang terbuang lantaran aku tak sanggup menguasainya dalam waktu singkat. Jujur, kadang aku ingin menembak kepalaku sendiri akibat bingungnya mau melangkah kemana, namun semua itu seakan sirna saat mellihat senyum dua putri kecilku.
Mungkin memang membutuhkan waktu lama untuk bisa menyelesaikan semuanya dengan bijak, tapi mau bertahan sampai kapan ?
Comments
Post a Comment