Dibanding tahun lalu, cuaca Kota Denpasar kini cukup dingin dan menyegarkan. Tapi bukan lantaran hawanya sudah ketularan kota Bandung atau Kintamani, namun hujan dari gerimis hingga deras kini mulai rutin turun ke tanah seakan menjawab keluh kesah penduduknya yang tempo hari ditiban panas dan gerah berkepanjangan.
Namun yang namanya manusia, diberi ini salah, diberi itu juga salah. Maka maklumlah jika terkadang Tuhan beserta para dewanya juga sekali waktu pernah kebingungan lantaran sifat manusia yang gag pernah puas ini. Termasuk saat menjawab dengan adanya hujan pun, manusia tetap mengeluh dan berkepanjangan. Baik dari gerutu, amarah, geregetan hingga update status. *eh
Hujan deras yang mengguyur Kota Denpasar pun lalu menjadi kambing hitam akan cucian yang lama belum jua kering. Bahkan matahari yang diharapkan bisa memberikan bantuannya, seakan ikut bersembunyi dan menarik selimutnya ketimbang tampil dengan riang di langit sana. Tak hanya itu, hujanpun kemudian dituduh sebagai biang kerok kemacetan. Karena gara-gara hujan, semua manusia yang berpunya di seantero Kota Denpasar mendadak mengeluarkan kendaraan roda empat dan enamnya untuk mengakses sejumlah tempat aktifitas agar tak kuyup dan jatuh sakit. Maka bisa ditebak jika jalanan penuh dengan kendaraan mewah hingga pas-pasan, baik saat hujan mendera maupun saat hujan mereda.
Bagi para petugas kebersihan, Hujan pun merupakan salah satu kambing hitam dalam menghantarkan sampah ke tempat umum ataupun jalan raya. Bahkan hujan dan airnya yang mewabah, mampu memindahkan sampah yang berasal dari sungai ke area lain yang tak diharapkan atau diramalkan sebelumnya. Maka makin bertambah pula caci maki dan kritik membangun yang disampaikan dalam bentuk update status berbagai jejaring sosial lengkap dengan gambar ilustrasi.
Lain hal lagi, hujan pun kemudian menjadi sumber dari segala sumber untuk banjir yang menggenang di jalan raya, ataupun perumahan. Untuk kasus yang satu ini caci maki dan kritik tadipun makin jelas terucap, terlihat dan terbaca lantaran melibatkan banyak orang yang merasa menjadi senasib sepenanggungan.
Namun jika saja kita boleh menoleh kearah lain, semua hal diatas bukan lah hujan yang menjadi penyebab. Jalanan yang menjadi riuh dan macet bukannya disebabkan oleh ulah manusianya juga yang begitu pongah mengendarai mobil meski didalamnya hanya berisikan satu orang saja, sementara anggota keluarga lainnya mengendarai mobil lainnya dengan arah aktifitas berlainan pula ? ataukah boleh mengkambinghitamkan pemerintah yang tidak menggiatkan sarana angkutan umum sehingga manusianya lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi kemanapun mereka pergi ?
Begitu juga dengan sampah. Jika saja kita jeli mau membuang sampah pada tempatnya, bukan dijalanan, saluran got ataupun sungai, tentu tumpukan itu takkan sampai meluber ke tempat yang kerap kita kunjungi. Meski kalo lagi-lagi bicara tentang pemerintah, sepertinya kurang tanggap juga dalam menangani persoalan sampah yang kian hari kian menggunung. Akhirnya lantaran tak jua beres, sampahpun jadi tumpah kemana-mana.
Dan jikapun kita bicara banjir, sudahkah kita menyadari bahwa tak bagus untuk membeton semua lahan basah yang dulunya begitu indah dengan terasering dan subaknya ? namun lantaran pemerintah memberlakukan pajak tinggi meski tahu bahwa lahan tersebut tak produktif, ya apa mau dikata ? mending sekalian dibeton dan disewakan untuk sebagian membayar pajak, bukan ? ataukah pemerintah lupa bahwa tak semua lahan yang kelak akan dibeton bisa diberi ijin seenaknya hanya dengan menyelipkan sejumlah besar amplop didalam map atau rekening ? sialnya lagi, si pemohon ijinpun seakan lupa dengan resapan air yang sebenarnya penting untuk dipertimbangkan dalam desain mereka dan baru tersadar ketika mereka mengalaminya sendiri.
Hujan, Hujan… turun salah… tidak turun pun salah…
Comments
Post a Comment