RAJA BALI BERGURU
Diceritakan Ida Dalem Bali Cri Smara Kapakisan di Gelgel setelah kembalinya dari Madura mengenang kebesaran jiwa Empu Bhumi Cakti dalam menyelesaikan yadnya, terbit dalam hati sanubari hendak berguru pada Empu Bhumi Cakti dalam hal ilmu keTuhanan dan selanjutnya membersihkan diri (mapogala) menjadi raja rsi. Untuk melaksanakan keinginannya ini diutuslah Ki Pasek Babya pergi ke Madura untuk mengundang Empu Kayu Manis yang bergelar Bhagawan Pandya Empu Bumi Cakti agar datang ke Gelgel.
Pada suatu hari utusan raja tibalah di Madura terus menuju asrama Kayu Manis. Dijumpai Sang Empu sedang mengatur Pancaprakara yaitu bunga, ganda, ksata(wija), dupa dan dhipa (pedamaran) serta pula ciwambha (tempat air suci). Kemudian Sang Empu melaksanakan Surya Sewana. Setelah selesai semuanya dipanggilah semua tamunya yang baru datang dan berkata, “Duh tuan hamba tame dari mana? Apakah kebangsaan dan datang dari mana, ceritakan saja sebenar-benrnya.”
Maka Ki Pasek Babya menjawab, “Ya tuan pendeta, hamba adalah anak Ki Arya Ngango dari Nusa Bali, hamba hendak berguru Sucusra kepada Sang Empu, untuk membersihkan kegelapan dan kebodohan yang memulut di hati hamba.”
Sang Empu berkata kembali, “Wahai buyutku pangeran Pasek Babya jika memang demikian berarti ada hubungan keluarga dengan saya. Dengan adanya Empu Ketek bersaudara. Dengan kawitan saya Empu Gandring yang dulu ditikam Ken Arok. Patutlah engkau melakukan dharma kependetaan untuk mengasuh jiwa sucimu.”
Jawab Ki Pasek, “Ya tuan pendeta sesuwunan, sesungguhnya kedatangan hamba kemari ada dua kepentingan. Disamping kepentingan pribadi, hamba diutus raja Bali Dalem Gelgel untuk datang ke Bali karena baginda hendak berguru kepada Sang Maha Empu.”
“Hai buyutku pangeran Pasek untuk kepentingan Dalem nanti kalau ada hari baik saya akan datang ke Bali, sekarang pulanglah dahulu.”
Setelah beberapa hari Ki Pasek Babya mohon diri pulang ke Bali, setelah dibisiki ajaran filsafat keTuhanan dan yoga samadhi sebagai persiapan untuk menjadi pendeta (didiksan) kelak.
Beberapa pekan kemudian pada suatu hari yang dianggap baik maka berangkatlah Sang Empu ke Bali. Tiada diceritakan betapa halnya dalam perjalanan, telah sampai di Gunung Agung. Setibanya disana Empu Bhumi Cakti sangat heran melihat suatu cahaya yang gemerlapan diatas padmasana manik. Ketika itu Empu Bhumi Cakti menyembah dengan sujud, mata menghadap ke tanah, suatu tanda sangat hormat dan bakti kepada Bhatara.
Cahaya gemerlap itu bersabda “Hai, engkau Empu yang rupawan, apa tujuanmu datang kemari? Ceritakanlah kepadaku.”
Sang Empu menjawab dengan didahului pujapangaksama, “Om Skama Swa Mam Mahadewah, Sarwa Prapi Hitangkarah, Mamocha Sarwa Pabsbhyo, palaya Swaa Sada Chiwah” Ya Bhatara, dewanya Gunung Agung, Hamba Brahmana Bhatara datang kemari karena diundang oleh raja Bali, diminta mensucikan (andiksa) dirinya menjadi Raja Rsi di Gelgel.”
‘Engkau Empu Madura” sabda Bhatara, “jika engkau tahu dengan keadaan riwayat tangan kananku, boleh engkau mensucikan cri Aji Bali. Coba lihat telapak tangan kananku.”
Sang Empu melihat tapak tangan Bhatara lalu berkata, “Pakulun paduka Bhatara, ijinkanlah paduka Bhatara menyebutkannya, yaitu Panca Brahma yang ada dalam tapak tangan Bhatara.”
“Dimana patut dipukulkan, sabda Bhatara dibahu atau didadamu?” Sang Empu tidak menjawab suatu apa. Tiba-tiba Bhatara musnah sekejap mata. Sang Empu berkata dalam hatinya, wah sangat fanatik (cinging) Bhatara Tohlangkir. Seketika itu Empu Bhumi Cakti mohon diri terus berjalan menuju Gelgel.
Setibanya di istana Gelgel didapati Dalem sedang duduk diatas singgasana. Demi meihat Sang Empu datang, Dalem segera turun singgasana dan mengelu-elukan Sang Empu. Sang Empu segera mengucapkan Wedastuti, kemudian dipersilahkan duduk sejajar dengan Dalem.
Sang Empu sangat heran mellhat wajah muka Sri Aji, karena sedikitpun tidak ada bedanya dengan Bhatara Mahadewa, baik wajah durja maupun perawakannya, demikian pemikiran Sang Empu.
Setelah sama duduk ditempatnya masing-masing. raja bersabda, “Om Sang Empu, menurut perasaan hati hamba, Sang Empu seakan-akan Bhagawan Anggira turun dari sorga laksana Bhatara Indra dalam Catur Lokapala. Tidak pernah ada dosa yang melekat pada badan Sang Empu.” Demikianlah sabda Dalem.
Maka Empu Bhumi Cakti menjawab, “Daulat tuanku, janganlah Sri Maharaja berlebihan memuji hamba. Yang penting saat ini, ijinkanlah hamba bertanya, apa sebab Sri Maharaja mengundang hamba seorang Brahmana? Hamba ingin mendapat penjelasan dari tuanku.”
“Ya Maha Empu” jawab Dalem, “Anak Maha Empu ingin menjadi orang tua, meniru dharmanya Bhatara almarhum kawitan anak Maha Empu Dang Hyang Kapakisan.”
“Ya tuanku Sri Maharaja” sahut Sang Empu, ” maksud tuanku itu dapat hamba setujui, sebab Sri Maharaja memang juga Brahma putera turunan Brahmana Kapakisan menjadi raja, satu Kawitan dengan hamba. Sesungguhnya bagi kami Brahmana tidak boleh menerima murid ksatria, berdasarkan riwayat Hitihasa Purana, Asta Dasa Carita.” Jika tuanku berkenan dapat hamba ceritakan demikian.
Adalah seorang raja Hastina bernama Maharaja Dewabrata berguru weda ilmu senjata kepada Bhagawan Rama Paracu seorang pendeta brahmana. Setelah ahli dalam weda ilmu senjata maka Sang Raja Dewabrata pulang ke Istana Hastina.
Beberapa bulan kemudian sepulang Sang Raja Dewabrata dari asrama Rama Paracu, tiba-tiba adalah seorang gadis raja puteri yang sangat cantik parasnya bernama Dyah Amba menghadap seorang diri kepada Bhagawan Rama Paracu diasramanya, bermaksud mohon bantuan nasehat agar raja Dewabrata mau memperisteri dirinya. Diterangkannya ia mulanya tiga bersaudara perempuan diambil oleh Sang Dewabrata dalam sayembara. Dua orang adiknya telah diperisteri oleh Sang Citranggada dan Citrawirya adik Sang Raja Dewabrata. Hanya ia saja tidak mau diperisteri oleh Sang Raja Dewabrata.
Beberapa lama Dyah Amba ada diasrama, maka datanglah raja Dewabrata yang bergelar Rsi Bhisma menghadap gurunya, maka Bhagawan Rama Paracu berkata, “Anakku Bhagawan Bhisma ambillah Dyah Amba ini menjadi isteri anakku, bapa dapat mengijinkannya. Sebab bagi kita layak membuat duka cita seorang kawan hidup, baik ia keluarga maupun sahabat.
Tiga macam jalan musuh dari dalam badan hendak menunjukkan perbuatannya dan hendak menghancurkan segala jasa-jasa baik kita didunia. Yang terutama diantaranya ialah keluar melalui mulut, yaitu berkata tidak benar, memfitnah, ingkar janji, tidak setia dengan segala kata-kata dan berkata keras. Musuh yang melalui tenaga, suka memukul, menyakiti dan membunuh. Yang melalui pikiran, biasa membuat kehendak yang jahat, tidak berperikemanusiaan. Semua itu merupakan musuh kita dalam badan. Sebab itulah ambilah Dyah Amba.” Demikianlah kata Bhagawan Rama Paracu dan Rsi Bhisma segera menjawab.
“Maaf Guru, bukan karena hambi menentang kata atau durhaka kepada Guru, hanya karma hamba telah berjanji dengan ikrar kepada Tuhan, bahwahamba akan melakukan Cuklabrahmancari. Hamba tidak berani mangkir janji kepada Tuhan. Sebab ltu hamba tidak mau memperisteri Dyah Amba, sekalipun bagaimana akibatnya.”
Sampai empat, lima kali Guru Rama Paracu menyuruh mengambil Dyah Amba, tetapi Rsi Bhisma tetap menolaknya. Akhirnya murka Bhagawan Rama Paracu menuding mata Rsi Bhisma seraya berkata keras dan kasar.
Sebagai seorang Ksatria yang tidak boleh dikerasi, maka bangkitlah marahnya berapi-api terus memukul gurunya. Dengan demikian berkelahilah dua orang Rsi masing-masing mengeluarkan kekuatannya. Akhirnya kalah Bhagawan Rama Paracu mengadu tenaga karena telah lanjut usianya. Saat itu Bhagawan Rama paracu mengutuk Rsi Bisma, katanya “Hai kamu Bhisma, mulai saat ini selanjutnya kami Brahmana tidak boleh mempunyai murid golongan ksatria. Kemudian hari apabila ada seorang brahmna terutama turunan Bhrgumendiksa golongan ksatria, semoga tidak sempurna dan mendapat halangan besar.”
Demikianlah ceritera Bhagawan Pandya Empu Bhumi Cakti kepada Dalem, sebagai dalih sangat takutnya kepada Bhatara Mahadewa.
Setelah beberapa lama Empu Kayu Manis di Bali menvelesaikan minatnya Dalem Gelgel, maka kembalilah ia keasrama Madura.
Comments
Post a Comment