Gemuruh suara si burung besi saat menancapkan kaki-kakinya ke landasan pacu membuatku tersadar dari lamunan. Satu persatu wajah asing kupandangi dalam diam. Hati bersiap untuk menghadapi hari yang dipenuhi oleh asap dan kemacetan jalan raya. Kota yang paling aku benci untuk dikunjungi.
Jika bukan karena tugas, aku lebih suka berada di tanah kelahiranku. Tanah dimana aku masih bisa meluangkan waktu sejenak untuk bernafas. Sedangkan disini, waktu yang bergulir begitu cepat bakalan terasa mahal. Orang-orang berlalulalang seakan diburu oleh waktu, untuk mengejar ketertinggalannya atau bahkan menimbun lembar demi lembaran uang atau hanya sekedar bermimpi.
Deretan rumah kumuh berpadu dibawah kolong jembatan, satu hal yang sudah biasa aku lihat begitu turun dari bandara memasuki jalanan kota. Menyaksikan tayangan ulang seorang anak yang bermain riang dihamparan air sungai penuh sampah seolah mengingatkanku pada MiRah yang bersyukur masih bisa mandi dalam bak airnya yang sudah terlampau kecil.
Mobil-mobil mewah tampak melewati kami dengan angkuhnya. Tak ada tegur sapa yang hangat mengiringi langkah kaki disepanjang jalan. Disinilah tempat berkumpulnya para artis ibukota untuk mengadu nasib. Hingga tak sadar masih sempat menginjak mereka yang tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berdiri. Seolah hari esok takkan pernah tiba.
Kendati hanya sebentar, waktu rasanya berjalan sangat lambat. Menyisakan satu kerinduan pada tawa canda si kecil dan pandangan lembut istriku.
Selamat pagi Kota Jakarta. Kita bertemu lagi…
Comments
Post a Comment