Saya tidak merasa heran ketika satu saat yang lalu, sebuah media menyatakan bahwa sebagian besar siswa siswi negeri ini mendapatkan nilai rendah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, saat Ujian Akhir Nasional. Padahal ‘Apa yang terjadi’ sebetulnya pantas menjadi sebuah pertanyaan. Bandingkan saja dengan sekitar 15-20 tahun yang lalu dimana barangkali mata pelajaran exact atau bahasa Inggris masih menjadi momok.
Saya yakin banyak generasi seusia saya yang akan memakluminya, karena memang dahulu kami belajar di jaman yang berbeda. Jaman dimana yang namanya Bahasa Gaul, Bahasa Alay ataupun bahasa komunikasi sms tidak dikenal luas. Bahkan, sejumlah media remaja atau pendidikanpun masih dengan setia menurunkan topik atau tema mereka dengan Bahasa Indonesia berbasis EYD atau Ejaan Yang Disempurnakan. Sedangkan Bahasa Inggris ataupun Exact belum sebebas sekarang dapat diakses dan dipelajari informasinya sedari dunia maya.
Dengan lahir dan besar di jaman yang berbeda, maka bisa dimaklumi pula seandainya saya (dan juga banyak orang diluar) yang masih bingung dengan istilah bahasa gaul, alay maupun komunikasi sms yang digunakan oleh para abegeh atau anak muda usia sekolahan. ‘Lebay, Alay, Jayus dan banyak lagi sebetulnya sering terdengar telinga, namun pemahaman kami akan arti kata tersebut belum sampai untuk dapat dimengerti.
Parno misalnya. Bagi sebagian orang yang tidak paham, saya yakin makna kata ini dianonimkan sebagai porno atau jorok. Padahal kalau tidak salah, Parno yang berasal dari kata Paranoid, dapat dianonimkan semacam rasa khawatir, was-was atau takut. Sayangnya, kata ini sama sekali tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang tebalnya dapat dijadikan bantal tidur, sehingga agak menyulitkan bagi yang tidak paham untuk mengetahui maknanya secara gamblang. Sedangkan saya yakin, untuk bertanya pada para abegeh malah ada rasa segan. Hehehe…
Belum lagi yang namanya bahasa ‘singkat’ ‘komunikasi sms. Untuk bahasa ini, lebih banyak komunikasi dilakukan via teks atau pesan yang disampaikan melalui ponsel. Entah karena memang sudah bakunya dari sana (bahkan saya sempat menemukan satu buku pedoman bahasa ‘singkat’ komunikasi sms ini di Gramedia) atau karena alasan penghematan pulsa pengiriman, menjadikan si pembaca atau si penerima tak kalah bingungnya dan dituntut jauh lebih menguasai. Ciri-ciri dari bahasa ini adalah penghilangan huruf vocal ‘a, i, u, e o’, menyingkat dua kata menjadi satu atau menggunakan angka sebagai pengganti huruf.
‘bgm kbrna pk?gipain?’
‘4k mnt prm3nna dnk’
Kira-kira, bisa dimengerti gag ya seandainya sebaris ‘kalimat’ pertama diatas sampai di layar ponsel Anda ? kurang lebih arti panjangnya, ‘bagaimana kabarnya Pak ? lagi ngapain ?’ hehehe… atau yang baris kedua ? yang arti panjangnya ‘aku minta permennya dong’. Hihihi…
Kalo yang dituju itu sobat sebaya sih gag masalah, tapi kalo yang bersangkutan berstatus dosen pengajar (apalagi penguji), pejabat ataupun orang tua pengirim, gag terbayang deh apa reaksi mereka. Yang ada malah kening berkerut dan (saya pribadi) malah cenderung mengabaikannya.
Sayangnya, penggunaan bahasa komunikasi tak resmi ini didukung pula oleh pemaksaan pergaulan social yang cenderung memberikan cap ‘tidak gaul atau tidak eksis’ pada sesamanya apabila tidak menggunakan bahasa komunikasi tersebut. Sehingga lama kelamaan, Bahasa Indonesia yang seharusnya lebih dipahami oleh generasi muda bangsa ini pun makin jauh menghilang ditelan bumi.
Bagaimana pendapat Anda ?
Comments
Post a Comment