Apabila dilihat dari skenario musim di Indonesia, bahan pelajaran saat sekolah dasar dahulu, bulan-bulan berakhiran –ber bisa dikatakan merupakan awal dari musim hujan, musim yang dinanti-nanti untuk menyejukkan tanah pertiwi. Sayangnya untuk setahun terakhir skenario itu tak lagi berlaku. Entah karena efek dari pemanasan global yang kabarnya mampu mengacaukan dua musim -hujan dan kemarau- di Indonesia atau ada unsur lain yang menyebabkannya demikian.
Di Bali, tanah kelahiran saya, hujan tampaknya tak lagi mematuhi aturan atau skenario guru-guru Geografi terdahulu. mereka turun secara mendadak bahkan pada bulan-bulan yang seharusnya angin dan terik matahari menyatu. Tak jarang hujan turun saat matahari tampak benderang diatas sana.
Hujan bisa jadi merupakan anugerah bagi mereka yang membutuhkannya atau malah memanfaatkannya. Selain dapat menyejukkan suasana halaman rumah, hujan dinanti untuk ditampung dalam bak air berukuran besar pada daerah-daerah yang kesulitan air. Meski demikian, hujan bagi saya merupakan salah satu penyebab borosnya penggunaan bensin/premium sebagai bahan bakar, lantaran memaksa sebagian masyarakat menggunakan kendaraan roda empatnya sebagai sarana transportasi. Termasuk saya.
Berkendara roda empat selama satu minggu lantaran cuaca yang tak menentu, ternyata cukup menguras isi dompet dibanding berkendara dengan motor Tiger pulang pergi kantor yang hingga kini belum jua diganti. Walaupun untuk kecepatan laju kendaraan sudah diatur seefisien mungkin. 20 hingga 40 km/jam.
Yah, mungkin ini yang namanya resiko yang harus kami tanggung pasca pemindahan kantor ke areal Puspem badung yang notabene berjarak 9 hingga 10 kilometer dari tempat tinggal…
Comments
Post a Comment