Tulisan oleh KA Wirawan / Maza Yudha yang dimuat dalam majalah Keris Volume 18 Tahun 2010. Mengisahkan tentang profil seorang Pande Wayan Suteja Neka dalam konteks kelahiran Museum Keris Sanggingan Ubud. Sekedar informasi bahwa Beliau ini pada tanggal 15 Agustus 2010 nanti akan memberikan DharmaWecana tentang Keris di tempat yang sama.
* * *
Semula Suteja Neka hanya dikenal sebagai pemerhati seni rupa, kolektor lukisan, kemudian mendirikan museum yang ia beri nama Museum Seni Neka. Namun, di ulang tahun ke-25 museum itu, 2006, tiba-tiba hati Suteja Neka tergerak untuk memberi warna lain pada museumnya. Neka yang sejak kecil memang sudah akrab dengan keris lantas terpikir untuk memberi tempat bagi sejumlah keris miliknya di museum yang terletak di Sanggingan, Ubud, Bali itu. Jadilah keris menempati tempat khusus di museumnya.
Kecintaan Pande Wayan Suteja Neka memang tidak muncul begitu saja. la memiliki darah pande turun temurun. Leluhurnya bernama Ki Pande Sesana Tamanbali, seorang empu kerajaan. Eyang buyut Neka bernama Pande Pan Nedeng, seorang empu keris dari Kerajaan Peliatan-Ubud, semasa Raja Peliatan ke-3, Ida Dewa Agung Djelantik (1823-1845). Setelah Pande Pan Nedeng meninggal, keahlian membuat keris dilanjutkan oleh anaknya, Pande Made Sedeng. Pande Wayan Suteja Neka adalah turunan ke lima dari Pande Pan Nedeng. Sedangkan Pande Wayan Neka, ayah kandung Pande Wayan Suteja Neka dikenal sebagai pematung kondang. Karya sang ayah, antara lain membuat patung garuda setinggi 3 meter untuk New York World Fair, Amerika (1964), dan Expo’70 Osaka di Osaka, Jepang (1970). Sang ayah menerima anugerah seni Wija Kusuma dari Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar dan penghargaan seni Dharma Kusuma dari Pemerintah Daerah Propinsi Bali (1995).
Dengan latar belakang seperti itu, tidak mengherankan kalau Pande Wayan Suteja Neka yang semula adalah kolektor lukisan sekaligus pemerhati seni rupa itu kemudian juga dikenal sebagai kolektor keris. Sebilah keris pusaka, warisan leluhurnya, bernama Ki Sesana sebuah Keris dengan Dapur Sabuk Inten, rincikan kembang kacang, jenggot, lambe gajah rangkap, jalen, sogokan dua, kruwingan, gusen, greneng lengkap, pamor beras wutah berada di tangannya. Keris ini menggunakan ganja wilut, sogokan sampai setengah bilah menggunakan rincikan khusus (tinggil) pada depan ganja. Konon keris ini dibuat dan diperuntukkan bagi orang-orang khusus pada jamannya.
Pada 1970, Pande Wayan Suteja Neka untuk pertama kalinya membeli dua bilah keris. Kedua bilah kepis dengan perlambang Singa Barong Luk 11 dan keris yang bersimbul Nagasasra Luk 13. Keris Nagasasra Luk 13 itu kemudian ditatah emas pada ahli kinatah emas, Nugroho Priyo Waskito di Yogyakarta. Sekarang keris Nagasasra Luk 13 dengan kinatah emas itu terpajang di Museum Seni Neka.
Di Museum Seni Neka terdapat beberapa keris tua karya empu masa lalu. Patut dicatat, para kolektor keris memang tak keberatan melepas koleksi kerisnya, karena akan dilestarikan dalam pengembangan koleksi Museum Seni Neka. Keris-keris garapan empu masa lalu dan empu masa kini itu dikoleksi dan dipajang di Museum Seni Neka, dengan harapan dapat dijadikan pernbanding dan dorongan pada penggarap keris masa kini lainnya.
Kiprah Pande Wayan Suteja Neka dalam dunia pakerisan di Bali memang pantas dicatat. Sejak ia menjadi kolektor keris dan memajang keris dalam ruangan khusus di Museum Seni Neka, dunia pakerisan di Bali seperti mendapat udara segar. Kalau dulu keris hanya dipandang sebagai peiengkap upacara, sekarang lebih dari itu. Keris berubah menjadi benda seni, sekaligus benda budaya yang diagungkan. Bahkan orang-orang yang dulunya hanya menyukai keris kuno mulai tertarik dengan keris baru (kamardikan), setelah melihat koleksi keris kamardikan di Museum Neka. Suteja Neka tidak takut memajang nama empu keris masa kini, walaupun empu itu masih tergoiong muda. Yang terpenting hasil garapannya bagus dan layak dipajang.
Ketidakfanatikan Neka terhadap keris kuno menjadikannya kolektor yang disegani. Tanpa ia sadari, dengan membuka diri untuk keris kamardikan, ia membangkitkan kembali dunia pakerisan di Bali.
Karena tidak memandang sebelah mata terhadap keris baru, nama Suteja Neka yang baru menggeluti keris sejak beberapa tahun belakang ini ‘meroket’. Ia dengan cepat dikenal dalam dunia pakerisan di Bali. Kiprahnya disambut hangat. Bukan saja karena keberaniannya mendirikan museum keris, melainkan juga karena ketulusannya untuk memberi tempat pada keris-keris kamardikan, yang notabene menghargai empu-empu muda.
Pengakuan atas kiprahnya dalam dunia pakerisan bisa dibuktikan dengan terpilihnya Neka sebagai salah satu juri dari tiga dewan juri dalam Kamardikaan Award 2008 yang diselenggarakan Panji Nusantara di Bentara Budaya Jakarta. Selain itu, untuk memberikan pemahaman yang benar tentang keris, Pande Wayan Suteja Neka mendatangkan Empu KRT Subandi Soponingrat dari Solo. Empu ini diminta memaparkan proses pembuatan keris dan juga cara perawatannya di hadapan warga Pande Peliatan Ubud. Disamping itu, Suteja Neka juga kerap menyelenggarakan sarasehan tentang keris, sebagai bukti kalau ia benar-benar ingin melestarikan keris. Tak heran kalau Suteja Neka juga kerap diundang untuk berbagai kegiatan yang berkaitan dengan dunia Pakerisan, misalnya dialog keris di Duta Fine Art Gallery, Kemang Jakarta, yang diselenggarakan SNKI, dihadiri penulis buku The world of Javanese Keris dari East West Center Honolulu, Hawai, Garett dan istrinya Bronwen Solyom.
Comments
Post a Comment