Skip to main content

Nilai-nilai Keris sebagai sebuah Pusaka berkekuatan Gaib

Informasi berikut merupakan makalah ‘Sebuah Logika Kultural Tentang Keris’ yang disampaikan dalam diskusi ilmiah ‘Keris dalam Perspektif Keilmuan’ 17-18 November 2009 di ISI Surakarta dan ditulis oleh Tony Rudyansjah seorang Pengajar dan Sekretaris Program Pascarasjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Adapun tujuan pengambilan tulisan adalah dalam rangka pembelajaran sebelum pelaksanaan DharmaWecana tentang Keris pada tanggal 15 Agustus 2010 nanti di Museum Keris Neka, Sanggingan Ubud.

* * *

Keris biasanya ditanggapi sebagai suatu benda yang bernilai tinggi atau pusaka, bukan karena tinggi harga jualnya dan bukan juga karena kehalusan dan keindahan bentuk fisiknya semata, melainkan lebih karena diyakini orang mengandung ‘isi kekuatan gaib’ yang berada di dalamnya. Isi atau kekuatan gaib yang berada di dalam keris seringkali disebut dengan istilah ‘khodam’. Khodam atau kekuatan gaib itu bisa muncul dalam penampakannya dalam wujud yang menakutkan, seperti ular atau harimau, dan bisa juga muncul dalam wujud yang memberikan suasana kedamaian, seperti cahaya kemilau kebiruan yang menenangkan jiwa.

Kekuatan gaib dari satu keris berhubungan dengan tokoh yang diyakini pernah ada di masa lampau dalam sejarah satu masyarakat. Kekuatan gaib itu ditanggapi seringkali justru berasal dari kekuatan spiritual yang dimiliki oleh tokoh ‘sejarah’ itu, yang kemudian bertransmigrasi (pindah) ke keris itu pada saat tokoh tersebut meninggal. Bisa juga pada saat tokoh itu sudah tidak layak lagi menjadi wadah dari kekuatan gaib tersebut karena sang tokoh sudah kehilangan keunggulan kualitas moral dan spiritualnya.

Kekuatan gaib atau khodam itu bisa datang kepada seseorang yang sudah pada taraf memiliki kemampuan mampu melakukan tapa brata. Khodam bisa datang kepada tokoh tersebut sekaligus kepada barang-barang yang dimilikinya, seperti keris ataupun tombak pusaka. Yang menarik untuk dicatat adalah keyakinan bahwa tokoh sejarah yang berkaitan dengan khodam yang ada dalam satu keris biasanya berhubungan secara tradisi dan sejarah dengan keluarga yang sekarang memiliki atau memperoleh keris tersebut.

Orang yang menemukan ataupun memperoleh sebuah keris yang mengandung khodam biasanya mengalami dulu berbagai cobaan, rintangan dan tes yang sangat berat. Bukanlah sesuatu yang jarang terjadi bahwa mereka harus mengatasi dulu berbagai penderitaan dan rintangan manakala berhadapan dengan berbagai makhluk gaib yang menjaga keris itu. Tersirat dalam keyakinan itu bahwa berbagai rintangan, cobaan dalam proses memperoleh keris itu merupakan satu ujian yang harus dilalui untuk membuktikan keunggulan kualitas moral dan spiritual si penemu keris itu. Bagi seseorang yang telah melewati ujian tersebut, maka ia seolah-olah akan diberi petunjuk cara menemukan keris. Bahkan kedatangannya ke tempat di mana keris itu berada seolah-olah sudah lama dinantikan.

Sebelum menemukan keris yang mengandung khodam, seseorang biasanya harus melakukan berbagai pantangan-pantangan tertentu. Si pelaku bahkan tidak jarang jatuh sakit. Hanya dengan terus menerus melakukan lelakon yang benar, ia baru bisa berangsur? angsur sembuh dan sehat kembali. Selama masa itu, ia banyak memperoleh ‘petunjuk? petunjuk’ yang harus diolah dan diterjemahkannya dengan mata batinnya, tujuannya dapat disimpulkan untuk melatih kepekaan batin manusia agar dapat memahami hal-hal tersembunyi di dalam alam kehidupan dan jati diri manusia, sehingga makna terdalamnya dapat diungkapkan dan dimengerti pelakunya.

Dari ilustrasi di atas, proses lelakon yang harus ditempuh seseorang untuk memperoleh sebuah keris, justru tergambarkan dengan jelas bahwa keris dianggap bernilai tinggi, karena adanya pengorbanan besar yang harus dilakukan oleh si penemunya sebelum mendapatkan keris itu. Di aspek inilah pemahaman antropologis bahwa suatu benda dianggap bernilai justru karena adanya pertukaran pengorbanan yang terjadi menjadi sangat relevan. Semakin tinggi pengorbanan yang dilakukan semakin tinggi nilai keris itu. Orang yang menemukan keris yang mengandung khodam (isi) adalah orang-orang yang sudah banyak mengalami pahit getir kehidupan. Buat orang-orang seperti itu, kehidupan materiil tidak menjadi penting lagi.

Dalam proses lelakon atau tapa brata yang dilakukannya, si pelaku mengorbankan berbagai kenikmatan  lahiriah/badaniah yang biasanya dapat dilakukannya dalam rangka memperoleh keris yang mengandung khodam. Pengorbanan seperti itu memang dapat dipahami apabila keris dianggap bernilai sangat tinggi, namun pertanyaan selanjutnya adalah untuk apakah pengorbanan tersebut?

Tunggu di tulisan berikutnya.

Comments

Postingan Lain

Jodoh di Urutan ke-3 Tanda Pesawat IG

Kata Orangtua Jaman Now, Jodoh kita itu adanya di urutan ke-3 tanda pesawat akun IG.  Masalahnya adalah, yang berada di urutan ke-3 itu bapak-bapak ganteng brewokan berambut gondrong.  Lalu saya harus gimana ?  #jodohurutanketigadipesawat  Mestinya kan di urutan SATU ?

Mewujudkan Agenda Cuti Bersama Lebaran

Tampaknya di Hari terakhir Cuti Bersama Lebaran, sebagian besar rencana yang ingin dilakukan sejak awal liburan sudah bisa terwujud, meski masih ada beberapa agenda lainnya yang belum bisa dijalani.  Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya waktu luang jadi bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan tertunda beberapa waktu lalu.  1. Migrasi Blog Aksi pulang kampung ke laman BlogSpot tampaknya sudah bisa dilakukan meski dengan banyak catatan minus didalamnya. Namun setidaknya, harapan untuk tidak lagi merepotkan banyak orang, kedepannya bisa dicapai. Sekarang tinggal diUpdate dengan postingan tulisan tentang banyak hal saja.  2. Upload Data Simpeg Melakukan pengiriman berkas pegawai ke sistem online milik BKD rasanya sudah berulang kali dilakukan sejauh ini. Termasuk Simpeg Badung kali ini, yang infonya dilakukan pengulangan pengiriman berkas dengan menyamakan nomenklatur penamaan file. Gak repot sih sebenarnya. Tapi lumayan banyak yang harus dil...

Menantu Mertua dan Calon Mertua

Menonton kembali film lama Meet the Parents (2000) yang dibintangi oleh Ben Stiler dan Robert De Niro, mengingatkan saya betapa terjalnya perjalanan seorang calon menantu untuk mendapatkan kepercayaan sang calon mertua, atas putri kesayangan mereka yang kelak akan diambil menjadi seorang istri dan pendamping hidup. Meski ‘kekejaman’ yang ditunjukkan oleh sang calon mertua dalam film tersebut *sosok bapak* jauh lebih parah dari yang saya alami, namun kelihatannya cepat atau lambat, akan saya lakoni pula nantinya. Memiliki tiga putri yang salah satunya sudah masuk usia remaja, adalah saat-saat dimana kami khususnya saya sudah sewajarnya masuk dalam tahapan belajar menjadi seorang kawan bagi putri sulung saya satu ini. Mengingat ia kini sudah banyak bertanya perihal masa lalu yang saya miliki, baik soal pendidikan atau sekolah, pergaulan dan hobi. Memang sih untuk urusan pacar, ia masih menolak berbicara lebih jauh karena berusaha tak memikirkannya, namun sebagai seorang Bapak,...

Pengetahuan kecil tentang soroh PANDE

Sekali-sekali saya selaku penulis seluruh isi blog ini pengen juga ber-Narzis-ria, satu hal yang jarang saya lakukan belakangan ini, sejak dikritik oleh seorang rekan kantor yang kini jadi malas berkunjung lantaran Narzis tadi itu.  Tentu saja postingan ini bakalan berlanjut ke posting berikutnya yang isinya jauh lebih Narzis. Mohon untuk dimaklumi. *** PANDE merupakan salah satu dari empat soroh yang terangkum dalam Catur Lawa (empat daun teratai) Pasek, Pande, Penyarikan dan Dukuh- yang memiliki keahlian dalam urusan Teknologi dan Persenjataan. Ini bisa dilihat eksistensi pura masing-masing di Besakih, yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dalam berbagai kegiatan Ritual dan Spiritual. Dimana Pura Pasek menyediakan dan menata berbagai keperluan upakara, Pura Pande menata segala peralatannya. Pura Penyarikan menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur. Sedangkan Pura Dukuh Sakti sebagai penata berbagai keperluan sandang pan...

Warna Cerah untuk Hidup yang Lebih Indah

Seingat saya dari era remaja kenal baju kaos sampai nganten, isi lemari sekitar 90an persen dipenuhi warna hitam. Apalagi pas jadi Anak Teknik, baju selem sudah jadi keharusan.  Tapi begitu beranjak dewasa -katanya sih masa pra lansia, sudah mulai membuka diri pada warna-warna cerah pada baju atasan, baik model kaos oblong, model berkerah atau kemeja.  Warna paling parah yang dimiliki sejauh ini, antara Peach -mirip pink tapi ada campuran oranye, atau kuning. Warna yang dulu gak bakalan pernah masuk ke lemari baju. Sementara warna merah, lebih banyak digunakan saat mengenal ke-Pandean, nyaruang antara warna parpol atau merahnya Kabupaten Badung.  Selain itu masih ada warna hijau tosca yang belakangan lagi ngetrend, merah marun atau biru navy. Semua warna dicobain, mengingat hidup rasanya terlalu sederhana untuk dipakein baju hitaaaaam melulu.  Harapannya bisa memberikan warna pada hidup yang jauh lebih cerah, secerah senyum istri pas lagi selfie.