Berbicara tentang Pura Penataran Pande Tamblingan yang dahulu dikenal sebagai Pura Catur Lepus, tidak bisa lepas dari penemuan Situs Tamblingan yang berawal dari penemuan sebuah lempeng prasasti tembaga oleh Pan Niki (warga Desa Wanagiri) pada tahun 1997.
Prasasti yang berangka tahun 1306 Isaka tersebut, yang selanjutnya disebut Prasasti Tamblingan berisi perintah penguasa wilayah pada waktu itu kepada Warga Pande Besi di Tamblingan yang telah lama meninggalkan desanya, agar segera kembali ke Tamblingan untuk bekerja sebagaimana biasanya seperti dahulu. Prasasti yang hingga saat ini masih tersimpan rapi di Pura Pamulungan Agung, Desa Gobleg, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, terbuat dari lempengan tembaga dimana kedua sisinya berisi tatahan aksara dan bahasa Jawa Kuna.
Pada hari Wrehaspati Kliwon Ukir tanggal 26 September 2002, kembali ditemukan empat kelompok prasasti, ketika warga melakukan kegiatan meresik-resik di Pura Endek. Pura Endek adalah salah satu pura yang terdapat di tengah hutan¬ di tepi Danau Tamblingan, seperti Pura Penimbangan, Pura Sanghyang Kauh, Pura Gubug, Pura Embeng, Pura Dalem Tamblingan, Pura Pangukusan, Pura Pangukiran, dan lainnya. Prasasti itu ditemukan dalam sebuah guci buatan Vietnam dari kedalaman permukaan tanah. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Ugrasena, Raja Udayana dan Raja Suradipa.
Secara umum keempat prasasti itu mencatatkan eksistensi hebat Warga Pande Tamblingan yang berada di wilayah sekitar Danau Tamblingan. Pembuatan baju besi berkualitas tinggi yang berhasil dibuat Warga Pande Tamblingan, demikian juga pembuatan papilih mas (pande mas), papilih besi (pande besi) dan Gamelan Slonding. Deskripsi yang ada menunjukkan bahwa Warga Pande Tamblingan sangat profesional dengan profesi kepandeannya, dikagumi oleh penguasa dan ditakuti oleh musuh. Atas keistimewaan dan kecerdasan Warga Pande Tamblingan ini, maka penguasa Bali ketika itu memberikan hak istimewa kepada Warga Pande Tamblingan dan para penabuh gamelan Slonding, untuk dibebaskan dari pengenaan pajak.
Berdasarkan fakta dan data yang terdapat di daerah situs Tamblingan dan Beratan, terutama berdasarkan ukuran besar dan kecilnya peninggalan pangububan (alat untuk memanaskan besi, tembaga atau emas), maka dapat dikatakan bahwa di sekitar Danau Tamblingan merupakan komunitas Pande Besi, sementara di sekitar Danau Beratan merupakan komunitas Pande Mas. Sedangkan Pande Tusan wilayah komunitasnya adalah di Klungkung.
Berkenaan dengan profesi ini mencerminkan bahwa lempengan-lempengan prasasti yang terbuat dari tembaga adalah hasil buatan dari warga Pande Tamblingan sendiri. Di samping berupa lempengan tembaga sehingga disebut Tambra Prasasti, prasasti juga bisa dibuat dari lempengan besi atau juga dari daun-daun rontal yang disebut Ripta Prasasti.
Di daerah Bali khususnya dan Indonesia umumnya, banyak sekali terdapat situs-situs purbakala. Situs Tamblingan adalah salah satu dari sekian banyak situs tersebut. Dinamakan Situs Tamblingan, karena kawasan situs terletak di tepi Danau Tamblingan, danau seluas 110 hektar yang dikelilingi oleh Gunung Lesong, Bukit Naga Loka, Asah Munduk, Asah Gobleg dan Asah Panji. Danau Tamblingan adalah salah satu dari tiga buah kaldeira purba akibat letusan Gunung Beratan Purba, di samping Danau Beratan dan Danau Buyan.
Secara geografis situs Tamblingan berada di antara sekitar 8 derajat Lintang Selatan dan 11,5 derajat Bujur Timur dengan ketinggian 1.127 sampai dengan 1.248 meter di atas permukaan air laut. Terletak di tepi timur dan selatan Danau Tamblingan yang merupakan kaki barat laut Gunung Lesong (salah satu gugusan pegunungan seperti Gunung Batukaru, Sengayang, Pohen dan beberapa bukit seperti Bukit Batu Tapak, Bukit Pucuk, Bukit Naga Loka, Bukit Adeng dan lain-lain).
Benda-benda purbakala yang ditemukan di situs Tamblingan antara lain dolmen atau meja batu dengan panjang 32,5 centimeter, lebar 220 centimeter dan tinggi 80 centimeter sebagai meja saji tempat duduknya kepala suku. Celak Katong Lugeng Luwih yang terbuat dari batu monolit. Aneka gerabah berwarna cokelat, hitam dan merah seperti periuk, pasu, cawan, padupan, kendi. Aneka keramik seperti mangkok, cepuk, piring, tempayan, guci, dan buli-buli. Manik-manik yang terbuat dari batu akik berbentuk bulat panjang dan silindrik. Sisa-sisa hewani seperti kijang, rusa, menjangan, babi, sapi, kera dan lain-lainnya. Gacuk yakni permainan anak-anak yang terbuat dari pecahan keramik. Benda-benda logam seperti batangan besi, fragmen tombak, cincin, kaitan terbuat dari besi, perunggu dan lain-lain. Mulut perapian berupa batu berlubang. Batu landasan dan batu asahan yang merupakan alat-alat pande besi. Palungan batu sebagai bak pendingin ketika memanaskan logam. Struktur yang terbuat dari batu andesit dan bata mentah yang menunjukkan adanya pemukiman di daerah situs tersebut.
Dengan melihat penemuan-penemuan yang terdapat di situs Tamblingan, bisa dikatakan bahwa komunitas yang bermukim di wilayah sekitar Tamblingan adalah warga atau komunitas Pande, komunitas yang profesional dalam bidang pekerjaannya. Akan tetapi mengapa pada akhirnya komunitas itu meninggalkan kawasan dengan jalan menyimpan alat-alat peninggalan berupa prasasti di dalam tanah, bahkan mungkin juga menenggelamkan di Danau Tamblingan. Warganya sendiri nyineb raga (menyembunyikan identitas), bahkan tidak mau lagi kembali walau setidaknya dua raja telah memerintahkan untuk kembali.
* * *
Tulisan diatas saya ambil dari Buku ‘Catatan Pendakian Spiritual Dedes’ yang disusun oleh I Made Suarsa dan diterbitkan oleh Maha Semaya Warga Pande Propinsi Bali tahun 2009. Adapun sumber Pustaka yang (diperkirakan) digunakan dalam buku tersebut adalah ‘Situs Tamblingan’ oleh I Made Sutaba tahun 2007
Comments
Post a Comment