Laju kendaraan Daihatsu Xenia milik Pande Hardy Sarjana seakan tak menemukan hambatan berarti ketika kami menyusuri ruas jalan Denpasar menuju arah Bedugul pagi tadi. Berangkat dari rumah sekitar pukul tujuh pagi, berbekal beberapa bungkus nasi kuning dan satu dus air mineral, kami rasa sudah lebih dari cukup untuk jatah empat orang dewasa. Dinginnya hawa ditambah kencangnya angin membuat kami tetap terjaga sepanjang perjalanan menuju Pura Penataran Pande Tamblingan.
Hari ini sesuai rencana, kami sebagian kecil dari satu wadah Yowana Paramartha Warga Pande, generasi muda yang diharapkan mampu meneruskan Dharma Kepandean yang diwariskan oleh para leluhur, berkeinginan untuk ikut berpartisipasi ‘ngayah’ disela kegiatan yang telah dirancang oleh Panitia Karya.
Melintasi satu persatu wilayah dan desa mengingatkan saya pada kenangan masa lalu. Kenangan yang barangkali ingin saya lupakan juga kenangan yang sesekali membuat saya tersenyum. Banyak yang berubah tampaknya.
Lahan yang dahulunya masih berupa hamparan sawah, kini telah berubah menjadi rompok bangunan semi permanen yang dihuni pedagang pinggir jalan. Bangunan yang dahulu mulai ditinggalkan pemiliknya, kini tampak lebat diselimuti belukar hingga menutupi wajah aslinya. Tempat-tempat yang dahulu kerap kami kunjungi mulai membuat pangling bahkan sempat tak percaya dengan perubahan yang terjadi.
Empat tahun. Bukan waktu yang pendek bagi sebuah pembangunan dan perkembangan lingkungan. Sudah empat tahun rupanya saya tak pernah melintasi ruas jalan itu lagi. Pantas saja banyak hal yang membuat saya terkagum-kagum sekaligus terhenyak dalam indahnya pandangan disepanjang jalan.
Satu persatu Semeton Pande mulai berkabar ketika kendaraan mencapai daerah Candi Kuning. Tepat pukul delapan kami tiba di obyek wisata Danau Beratan. Sesuai jadwal.
Sambil menunggu semeton lainnya, kami berkeliling serta bertukar pengetahuan satu sama lain. Tak lupa bercerita bahwa baru pasca pernikahan, saya diberitahukan oleh Mertua bahwa Semeton Pande memiliki pura juga di obyek wisata Danau Beratan ini. Satu hal yang kemudian membuat surprise. Bagaimana tidak, obyek ini merupakan satu tempat favorit saya ketika masih lanjang dahulu, tapi tidak menyadari hal tersebut.
Kami kembali melanjutkan perjalanan setelah melimpahkan tugas menunggu Semeton pada Dego Suryantara, seorang pria tampan dan dijamin masih lajang tulen dari Gulingan. Satu dari sekian banyak Semeton Pande yang memiliki semangat pantang mundur untuk dapat mewujudkan rencana hari ini. Laju kendaraan mulai melambat lantaran didepan ada perbaikan ruas jalan yang memaksa arus lalu lintas hanya berfungsi secara bergantian.
Mata kami makin terkesima dengan pemandangan yang ditawarkan disepanjang jalan menuju lokasi pura, jalan yang berada jauh diatas dua danau, Buyan dan Tamblingan. Indahnya tiada tara, tempat yang pantas untuk mengajak tunangan (baca:pacar), kata Kadek Juniarta sepupu kami yang ikut serta hari ini.
Perjalanan mulai mendekati tempat tujuan. Beberapa tanda arah yang disematkan di persimpangan jalan saya yakin tampak jelas memudahkan bagi setiap Semeton yang ingin mengakses tempat tersebut, sekalipun bagi mereka yang belum pernah tahu keberadaan pura.
Permukaan aspal mulai tergantikan oleh pasangan paving dan diakhiri dengan hamparan tanah yang telah dipadatkan, satu hal yang mengingatkan saya pada perjalanan menuju Pura Alas Purwo tahun 2003 lalu. Tampaknya kekhawatiran Semeton yang sudah pernah tangkil ngayah Sabtu 12 Juni kemarin mulai bisa saya maklumi. Kekhawatiran akan turunnya kabut dan hujan, berharap hingga karya selesai 29 Juni nanti kami tidak menemui kesulitan-kesulitan tersebut.
Mencapai titik Latitude 8°15’57.62″S dan Longitude 115° 5’49.59″E sesuai arahan Google Earth… Areal Pura Penataran Tamblingan sudah tampak di kejauhan, harapan kami rasanya sudah tidak sabar lagi. Satu pengalaman baru yang akan kami lalui hari ini…
Comments
Post a Comment