Kota Denpasar dan sekitarnya dibuat resah bulan April kemarin. Apalagi kalau bukan gara-gara maraknya penculikan dan pemerkosaan yang menyasar sejumlah siswi sekolah dasar. Hal ini berimbas pada keresahan para orang tua yang memiliki putra-putri usia sekolah, was-was dengan keselamatan sang buah hati. Beberapa sekolah mencoba menerapkan sejumlah aturan tambahan mencakup tata cara penjemputan anak disekolah. Tidak ketinggalan jajaran aparat juga berusaha mensosialisasikan upaya pengamanan dari diri sendiri kepada para siswa siswi disejumlah sekolah dasar. Sejauh ini baru satu orang pelaku yang dapat ditangkap.
Terlepas dari kontroversi tersebut, Tindak kriminal Pemerkosaan selama ini selalu merugikan pihak yang teraniaya. Para korban cenderung mengalami trauma berkepanjangan dan peran lingkungan pun ikut memperparah kondisi psikologi mereka. Cap ‘pernah diperkosa’ alias (maaf) tidak perawan lagi rupanya masih sangat sulit diterima oleh perilaku sosial masyarakat yang masih mengagungkan ‘kesucian diatas segalanya’.
Sebaliknya tidak demikian dengan sang pelaku pemerkosaan. Mereka, pasca menjalani masa tahanan malah bebas berkeliaran dan cenderung mengulangi perbuatannya pada calon korban lainnya. Tampaknya hukum di negara ini masih beralasan bahwa si pelaku akan berubah pasca masa penahanan. Sayangnya tidak semua pelaku tindak kriminal memiliki pemahaman yang sama.
Bagi keluarga korban yang teraniaya (dan tentu saja sang korban sendiri) keputusan tersebut hanya membuat miris hati, tidak adil kata mereka. Demikian pula halnya saya.
Sudah saatnya hukuman bagi para pelaku pemerkosaan ini ditinjau kembali. Apakah mengajukan seringan-ringannya hukuman seumur hidup ataukah hukuman mati. Karena bagaimanapun juga tindakan kriminal memperkosa adalah tindakan hina merenggut hak asazi seseorang untuk berkembang dan bersosialisasi di masyarakat.
Bagimana pendapat Anda ?
Comments
Post a Comment