Memasuki masa perkuliahan, saya mulai mengenal banyak nama yang meramaikan dunia musik baik lokal maupun internasional. Ini akibat pengaruh dari banyak teman yang memiliki selera musik berbeda. Walau begitu nama sosok Iwan Fals masih tetap lekat hadir dalam keseharian.
Pada masa ini pula, akhirnya pelan-pelan saya mulai bisa memahami kata demi kata yang dimaksudkan dalam karya-karyanya. Katakanlah album Swami pertama ada salah satu karyanya yang berjudul ‘Bunga Trotoar’ identik dengan pedagang kaki lima yang menyerbu kota besar. Pula ‘Satu-satu’ yang identik dengan re-generasi kehidupan.
Sayangnya pasca album ‘Orang Gila’ Iwan tak lagi melahirkan album secara pribadi seperti sebelumnya Bisa dimaklumi sebenarnya, lantaran situasi negeri saat itu sedang memanas pasca pengangkatan kembali Soeharto sebagai Presiden. Tampaknya Iwan lebih memilih bersuara lewat kelompok musiknya ketimbang maju sendiri dan hasil akhirnya selalu dicekal.
Katakanlah kolaborasi Iwan Fals bareng Ian Antono dan Franky yang melahirkan ‘Terminal’ dan ‘Orang Pinggiran’. Juga ada ‘Mata Hati’ dan ‘Lagu Pemanjat’. Saya sendiri tak begitu bersemangat tinggi mengoleksi album-album diatas yang nyatanya hanya menyajikan satu buah lagu karya Iwan, sedangkan sisanya hanyalah cover version (lagu Iwan yang dinyanyikan orang lain) atau malah karya pemusik lain.
Begitu pula dengan kelanjutan kelompok musik Kantata yang merilis album kedua mereka yaitu Kantata Samsara, menyajikan satu karya kenangan mengingatkan pada sebuah catatan kelam kematian Udin seorang wartawan.
Apalagi saat era pergantian orde baru menjadi orde Reformasi, kabarnya satu persatu anggota dari kelompok musik Kantata mulai beraktifitas sendiri-sendiri. Djabo misalnya dikabarkan rehat dan memilih pulang kampung kerumah Istri di Australia. Iwan sendiri lebih memilih menenangkan diri dan tidak ikut-ikutan meneriakkan Reformasi seperti halnya yang dilakukan oleh banyak tokoh parpol hingga artis, dari yang dahulunya tak berkutik dan bungkam hingga mereka yang pernah menjadi bagian dari kekuasaan orde baru.
Katakanlah Franky S. Pasca ia ditarik untuk bergabung dalam salah satu parpol kelahiran orde Reformasi, malah mengecam Iwan, dianggap tak berani bersuara lantang, malahan asyik dalam rencana dunia barunya yaitu soal Cinta. Sebetulnya apa yang dilontarkan oleh Franky itu tak ubahnya suara para tokoh yang saat jaman orde baru sama sekali tak berani menyuarakan isi hati mereka dengan lantang dan takut dicekal atau bentrok dengan penguasa. Sebaliknya baru berkoar bahwa ia-lah orang yang paling berani ketika kebebasan berpendapat itu diakui…. dan Iwan kelak akan bersuara yang tak kalah diplomatisnya untuk menjawab semua keraguan dan penilaian orang terhadap dirinya pada masa tersebut.
Terkait ke-vakuman Iwan dalam blantika musik Indonesia, bisa dikatakan bahwa masa perkuliahan yang saya jalani lebih banyak ‘mendengarkan kembali’ satu persatu karya Iwan terdahulu. Mencermati dan mendalami bahkan cenderung menikmati. Terutama karya-karya Iwan yang tak menjadi hits pada jamannya. Katakanlah seperti ‘Berandal Malam di Bangku Terminal’, ‘Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi’, Tolong Dengar Tuhan’ atau ‘1910’.
Saya akui, bahwa sebagian besar dari karya seorang Iwan Fals, sangat berpengaruh besar dalam keseharian, baik sikap dan perilaku yang saya jalani masa perkuliahan. Tak heran jika ada saat-saat saya bersikap romantis setelah mendendangkan tembang cinta karya Iwan Fals, kadang juga bersikap antipati pada lingkungan birokrasi lantaran kritik yang dilontarkan. Bahkan tak jarang nurani saya meledak-ledak dan seakan tidak takut pada apapun, siapapun itu, dan sialnya malahan menjadi berlebihan bagi orang lain…..
Satu sikap yang kelak membuat saya sempat berhadapan dengan orang-orang yang bertindak tidak sesuai dengan aturan….
Iwan Fals bisa dikatakan merupakan satu sosok idola yang kemudian menjelma Kembali menjadi seorang Hero atau pahlawan bagi kehidupan saya pribadi. Terlepas dari ketidakpahaman saya pada satu dua lagu atau karyanya yang hingga kinipun masih blom saya mengerti maksudnya. Hanya saja apa yang saya lakukan tidaklah buta seperti halnya sebagian besar para penggemar sejati satu sosok pemusik atau grup band yang mereka sukai.
Rela mati demi sang idola, bersusah payah merantau agar bisa bertemu sang idola, atau malah berteriak-teriak histeris saat bersua dengannya.
Sekali lagi, Saya hanyalah seorang penikmat atau pendengar karya seorang sosok Iwan Fals, sekaligus mengambil sisi positif dari kesehariannya yang tetap hidup sederhana, dekat dengan lingkungan maupun para penggemarnya dan tetap bersedia untuk memberikan hasil yang terbaik dari kesehariannya. Barangkali juga termasuk sisi kesetiaannya sebagai seorang suami dan seorang Bapak yang baik….
Comments
Post a Comment