Menunggu….
Bagi saya adalah aktivitas yang tidak menyenangkan.
Apalagi menunggu datangnya gaji saat dompet kehabisan isinya. He…
Salah satu yang biasanya saya lakukan saat menunggu adalah membaca. Tak peduli apakah itu majalah yang saya sukai, majalah nganggur yang ada didekat-dekat situ, sampe buku atau novel yang ndak jelas isinya apa. Sayangnya hingga saat ini saya masih belum pernah melewati waktu menunggu dengan cerita asyiknya Nick Carter. He…
Maryamah Karpov. Buku atau Novel keempat yang dilahirkan oleh seorang Andrea Hirata, si keriting ikal asal BeLitong, sebagai bagian terakhir dari sebuah karya Tetralogi yang mengagumkan.
Buku ini tebalnya mendekati si penyihir Harry Potter-nya JK Rowling, sehingga kalopun bagi mereka yang merasa salah beli dan malas untuk membacanya, bisa dijadikan alternatif pilihan untuk bantal tidur. He… Becanda mulu nih !
Cerita tentang perburuan cinta yang sempat mewarnai masa kecil si keriting ini, dibumbui pula dengan ‘mimpi-mimpi Lintang’, sobatnya saat duduk di bangku SD Muhammadiyah, demi mewujudkan sebuah perahu untuk berkelana pencarian cinta tersebut.
Bersuanya kembali sepuluh orang siswa SD Muhammadiyah dalam sebuah cerita yang bagi saya kadang bisa dikatakan absurd ini, merupakan titik balik perjalanan saya dalam usaha menyimak halaman demi halaman buku. Saya melakukan ini saat menunggu dilakukannya moment penting disela upacara Pekak kemarin.
Dibutuhkan waktu seminggu plus tiga hari untuk dapat melahap keseluruhan cerita dengan baik dan benar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Halah… Ini karena mozaik demi mozaik (istilahnya seperti posting dalam blog), hanya dapat saya simak dua atau tiga saja per harinya. Ditengah kesibukan mengasuh Putri kami secara bergantian, agar pekerjaan dan upacara (dari Ngajum hingga Pengabenan) tetap bisa dilakukan dengan baik.
Dari keempat buku atau Novel yang menjadi bagian dari sebuah Tetralogi karya Andrea Hirata, kalo boleh diurutkan berdasarkan tingkat seru dan asyiknya jalan cerita, secara pribadi saya menempatkan Edensor di bagian paling akhir. Jadi urutannya yaitu ‘Laskar Pelangi’, ‘Sang Pemimpi’, ‘Maryamah Karpov’ dan tentu saja ‘Edensor’.
Asal muasal sebuah nama Andrea Hirata pun akhirnya bisa saya ketahui disini. Rupanya untuk histori nama akhir (Hirata), pikiran saya tak jauh beda dengan si empunya cerita. Nyerempet ke budaya Jepang. Eh, saya ternyata salah.
Tampaknya pada buku atau novel terakhir ini, Andrea Hirata benar-benar mampu mengaduk-aduk pikiran dan akal sehat saya akan sebuah kisah yang terkadang ‘tak masuk diakal. Katakanlah saat ikal dan Mahar yang bersua Tuk Bayan Tula, dan mencoba mempersembahkan benda-benda gaib untuk menarik minat Tuk. Dari kemenyan dan dupa-dupa, tanduk menjangan gunung, buntat, jenazah cecak berekor cabang, hingga ranting dari sarang burung terakub pun tak mampu menarik perhatian Tuk.
Rupanya senjata pamungkas atau persembahan paling huebat yang mampu mengalahkan semua ketidakpedulian Tuk pada usaha Mahar adalah televisi Sanyo hitam putih portable. Halah…
Terlepas keanehan jalan cerita yang kadang tak sesuai nalar seru-serunya akhir yang diharapkan, Maryamah Karpov buah karya Andrea Hirata keempat dari sebuah Tetralogi, bagi saya pribadi sangat mengasyikkan untuk disimak sekaligus dinikmati. Tentu saja sambil membayangkan bagaimana seandainya ini difilmkan pula oleh para sineas muda yang berkualitas. Dijamin hasilnya tak jauh beda dengan Harry Potter the movie.
> PanDe Baik makin tak sabaran menanti dirilisnya DVD resmi film ‘Laskar PeLangi’ dengan harapan tentu saja bisa menikmati lebih banyak fitur tambahan diluar alur cerita. Minimal enggambaran proses Behind the Screen (seperti yang dituliskan dalam buku ‘di balik layar’) atau malah menelusuri tokoh-tokoh aslinya (jika memang ada), seperti halnya kisah GIE…. <
Salam dari PuSat KoTa DenPasar
Comments
Post a Comment