Pemilu tahun ini agaknya bakalan jadi makin beda dengan pemilu sebelumnya. Apalagi kalo bukan karena makin banyaknya orang yang ikutan bursa CaLeg. Dari muka lama hingga wajah baru yang sama sekali belum dikenal publik secara luas.
Terlepas dari semua motivasi masing-masing orang yang begitu ngotot mencalonkan dirinya sendiri sebagai ‘Wakil Rakyat’, agaknya masyarakat kinipun makin mengerti mengapa mereka semua nekat melakukan hal ini. Bisa jadi paling pertama yang menjadi pertimbangan ya kondisi ekonomi yang makin susah untuk dijalani dengan profesi pas-pasan.
Belakangan saya yakin semua orang pun tahu bahwa kursi empuk ‘Wakil Rakyat; dianggap lebih menjanjikan banyak hal, banyak mimpi sedangkan kewajiban yang seharusnya dilakukan bisa dikatakan sangat minim. Lebih banyak kunjungan atau studi ke luar daerah dibandingkan hasil kinerja yang diharapkan oleh masyarakat. So, dimana lagi bisa mewujudkan semua itu ?
Lantas apakah semudah itu orang bisa mencalonkan diri menjadi CaLeg ? seorang ‘Wakil Rakyat’ yang nantinya bakalan diharapkan begitu besar pengaruhnya dalam menentukan nasib rakyat yang ia wakili.
Seorang famili pernah secara iseng berhitung. Seandainya ia bukanlah orang yang dikenal oleh masyarakat, satu-satunya cara yang bisa ia lakukan ya dengan cara money politics. Paling minim ya berusaha menyogok sekelompok masyarakat agar mau mendukungnya kelak. Adapun jumlah biaya yang ia perhitungkan sebagai modal awal untuk bisa maju sebagai CaLeg hingga positif duduk di kursi empuk, berkisar pada angka 500 sampai dengan 800 juta. Wow…. Itu semua tergantung pada kuota minimum suara yang harus dikumpulkan oleh setiap orang CaLeg.
Perinciannya meliputi :
> biaya yang harus dikeluarkan untuk baliho kampanye selama masa pengenalan figur, di banyak tempat dan dalam ukuran yang beragam
> biaya baju kaos bagi para pendukung minimal sejumlah kuota minimum yang harus dipenuhi
> biaya konsumsi (minimal nasi bungkus) bagi para pendukung dikalikan jumlah kampanye yang akan digelar
> biaya konsumsi setiap hari hingga saat pemilihan tiba, untuk masyarakat ataupun pendukung yang ingin berkunjung ke rumah
> sumbangan pada event tertentu sesuai undangan masyarakat, terutama di lingkungan sendiri
> sumbangan pada parpol agar mau mencantumkan namanya sebagai salah satu kader partai
> dsb dll etc
Sayangnya gak semua CaLeg mampu menyediakan biaya sedemikian besar sebagai modal awal tarung mereka di kancah politik. Beberapa malah memasrahkan diri, menyerahkan pilihan pada masyarakat tanpa berusaha lebih jauh merangkul massa pendukungnya. Istilah kerennya ‘biarkan masyarakat yang menilai. Saya hanya perlu membuktikan diri bahwa saya layak tampil sebagai ‘Wakil Rakyat’ yang diinginkan’.
Memutuskan untuk maju bertarung menjadi CaLeg atau ‘Wakil Rakyat’ tentu saja harus menyiapkan segalanya. Positif dan negatifnya. Untung Ruginya. Minimal untuk seorang CaLeg yang beneran baru terjun di masyarakat, sudah harus menyadari ketidakberuntungannya sejak awal. Walaupun banyak orang mengatakan ‘kita harus optimis dalam segala hal’.
Bagaimana seandainya jika saya tak terpilih nanti ? Bagaimana caranya saya bisa mendapatkan biaya yang sudah dikeluarkan saat kampanye jika saya tak mampu mendapatkan kuota suara pemilih ?
Agar jangan seperti halnya calon pemimpin daerah yang dikabarkan harus menanggung beban hutang, malu hingga stres dan akhirnya berakhir di Rumah Sakit Jiwa. Minimal siap kalah. Sudah siap sejak awal untuk menghadapi kemungkinan paling buruk. Jangan sampe malahan bikin malu keluarga saja. He….
> PanDe Baik agak tergelitik juga dengan ide itung-itungan yang dilontarkan oleh famili beberapa waktu lalu, walaupun ada juga CaLeg yang maju sangat pelit mengeluarkan biaya untuk aksi tarung nekat mereka. He… <
Comments
Post a Comment