Menyaksikan tayangan di layar televisi terkait pasca eksekusi trio bomber Bali Oktober 2002 lalu, Amrory, Imam Samudra dan Mukhlas, ada rasa kasihan yang saya berikan pada mereka, para pendukung ketiga narapidana yang akhirnya ditembak mati Minggu dini hari. Kenapa ?
Karena mereka begitu mudah meneriakkan takbir yang sepantasnya mereka hormati dengan hati-hati dan penuh pemahaman akan apa yang mereka yakini. Sepertinya takbir itu hanya ada dan pantas mereka teriakkan hanya untuk apa yang mereka yakini benar adanya.
Menyaksikan tayangan lain perihal bentuk Djihad yang dibenarkan di Indonesia, yang kalau tidak salah dijelaskan oleh Ketua Fatwa MUI, Ma’Ruf Amien, sangat bertolak belakang dengan segala provokasi termasuk kata-kata dalam Surat Wasiat yang diwariskan oleh ketiga terpidana mati kepada para pendukungnya.
Sungguh sangat disayangkan, pemahaman akan apa yang diyakini dan dijalankan setiap harinya diartikan begitu dangkal sehingga salah arah dan salah kaprah. Barangkali malah bisa saya samakan antara para pendukung Amrozy, Imam Samudra dan Mukhlas tersebut dengan Syeh Pujiono yang menikahi perempuan 12 tahun hanya karena Nabi mereka melakukannya. Tidakkah ada yang ingin mencari tahu mengapa Nabi melakukannya ? atas dasar apa ? dan apa pertimbangannya ?
Terpekur mendengar cerita para korban Bom Bali, dimana mereka benar-benar tidak siap untuk menghadapi perubahan hidup yang mereka alami pasca tragedi yang mengguncang Bali dan pariwisatanya silam. Makin terhenyak saat Amrozy mengatakan bahwa ‘itu adalah Takdir mereka’. Manusia toh akan mati. Entah dengan cara apapun. Jika ada Muslim yang menjadi korban saat Bom diledakkan, seharusnya mereka bersyukur bisa mati dengan Syahid. Dan para keluarga juga harus bersyukur ayah dan suami mereka bisa mati dengan Syahid. Apa sih Syahid itu bagi seorang Amrozy ?
Kata-kata yang sangat dengan mudah diucapkan dari mulut seorang Amrozy. Namun apakah ia akan mengatakan hal yang sama jika melihat kondisi dari mereka yang ditinggalkan ? Para janda yang tak siap untuk hidup tanpa asupan materi dari sang suami tercinta lagi ? para anak yang menginginkan belaian kasih orangtua mereka saat beranjak remaja ? Apakah mereka ini akhirnya memiliki hak yang sama dengan para keluarga terpidana, yang begitu dimanjakan oleh negara ? masih bisa bersua dengan ayah dan suami mereka hingga sebelum ditinggalkannya pun ? Masih bisa merasakan hangat dan pesan dari ayah dan suami jika hari eksekusi tiba nanti ? Apakah para keluarga korban Bom Bali mendapatkan itu semua ?
TIDAK !
Apakah itu yang dinamakan Takdir dari-Nya bagi semua korban dan orang-orang yang ditinggalkan ?
TIDAK !
Menyimak layar televisi seharian rasa-rasanya saya sangat bersyukur pada media karena tak mengekspose terlalu over perihal jalan cerita pemakaman jenasah ketiga terpidana mati ini di desanya masing-masing. Bersyukur saya masih bisa menyaksikan cerita dari Gede Prama yang menyejukkan hati, menyaksikan kelucuan cerita Shincan ataupun hiburan dari cerita-cerita lucu nan kocak.
Tak sepantasnya memang mereka, Amrozy, Imam Samudra dan Mukhlas, dipuja puji begitu agungnya…..
Comments
Post a Comment