Hmm.. dari hasil hitung cepat (quick count) suara pilgub 9 Juli kmaren, nyatanya pasangan Pasti-Yoga menang telak dengan perolehan suara lebih dari limapuluh persen, jauh dibandingkan CBS dan pasangan Win-AP Yes. J
Yang jelas untuk kedepannya, Bali akan memiliki satu sosok pemimpin yang telah dikenal lebih dulu lewat Tragedi Bom Bali I dimana sang penge-bom blom jua dihukum mati sesuai vonis. Kabarnya sih keder mati hingga mengajukan Peninjauan Kembali tahap sepuluh. J
Hanya saja, kemenangan pasangan yang diusung oleh parpol terbesar di pulau ini tidak diikuti dengan kedewasaan berpolitik baik dari para pendukungnya maupun partisipan dari calon lainnya.
Terlihat dari kisruh terdekat, misalkan saja Wangaya Kelod (secara kebetulan orang-orang yang terlibat masih merupakan saudara dari penulis Blog). Tidak terimanya warga akan tak terdaftarnya nama mereka sebagai pemilih dijadikan alasan untuk memindahkan TPS hingga mengakibatkan baku hantam dengan seorang korlap tim parpol lain, yang sampe mendatangkan satuan polisi untuk mengamankannya. MEMALUKAN !
Andai dalam pilkada akan datang ada beberapa kelompok penduduk yang blom terdaftar sebagai pemilih yang sedari jauh-jauh hari diumumkan di bale banjar, apa yang harus dilakukan ? berdiam diri hingga hari-H (pasrah pada inisiatif pihak Pendata, mungkin juga karena gengsi lantaran beda coblosannya) lalu membuat onar lantaran blom jua mendapatkan hak pilihnya, ataukah langsung berinisiatif sendiri, mengajukan kepada tim Pendata agar dengan segera mendaftarkan namanya untuk dapat menggunakan hak pilih ?
Sayangnya pula perilaku masyarakat ini rata-rata masih terpecah dalam kelompok partai yang didukung, bukan pada tujuan akhir dari suatu pilkada, sehingga tak jarang saling gontok walaupun mereka masih bersaudara misalnya, hanya karena saling membela calon, walaupun blom tahu apa yang mampu diberikan sang calon saat naik menjadi pemimpin pada diri mereka masing-masing. Pengakuan ?
Mengkultuskan seseorang hanya berdasarkan latar belakang maupun dari parpol mana ia berasal, bukan dari sosok figur dan kemampuannya untuk memimpin daerah, seringkali dilakukan hanya demi sebuah gengsi yang sudah tak terkontrol lagi.
Entah kapan kita akan bisa dewasa dalam berpolitik.
Seratus tahun lagi mungkin…
Comments
Post a Comment