Belum usai kritik Redaksi media Jawa Pos jumat 16 Mei lalu, yang bertanya pada kolom Jati Diri, “Pawai Moge Itu Untuk Apa, Tuan?”
Belum hilang dari ingatan coretan khas Wahyu Kokkang, pada halaman yang sama, menggambarkan arogansi pawai moge yang melintas di jalan tol khusus untuk kendaraan roda empat atu lebih.
Belum hilang rasa mangkel para pengendara di Kota Surabaya yang kabarnya harus mengalah pada iring-iringan motor besar melewati jalanan atas ijin pemerintah pusat di Jakarta.
Belum habis rasa heran, kok bisa-bisanya disaat harga BBM bakal dinaikkan, para pemoge itu dengan santainya menderumkan suara besar motornya untuk melakukan rekreasi mahal.
Pawai Moge yang kabarnya sebagai ungkapan seabad Kebangkitan Bangsa Indonesia dengan melintasi 1908 KM jalan raya oleh serombongan tamu-tamu kaya raya (wong harga sebiji moge aja sekian kali lipat UMR tenaga kerja Indonesia kok) yang menamakan kegiatan mereka ‘Jalur Merah Putih’.
Eh, kabarnya pawai itu memakan korban sang pemimpin pawai. Sang pemimpinpun terjungkal saat melewati lubang mengaga ditengah jalan, dalam kecepatan yang tinggi. Sang pemimpin yang telah kelelahan, terjatuh dan entah bagaimana kronologisnya, menghembuskan nafas terakhir disisi sang Istri yang secara kebetulan memilih pisah kendaraan lantaran merasakan capek lebih dulu.
Ah, Takdir emang gak bisa ditebak, padahal sekian jam sebelumnya mungkin sang pemimpin masih sempat melewatkan waktunya untuk melaksanakan kegiatan yang berbau polistis.
Jadilah layar teve dipenuhi pemberitaan akan sang pemimpin yang dahulunya merupakan artis ternama di negeri ini dan menjadi simbol keharmonisan kluarga antar artis hingga saat ini. Barangkali saja hal ini jadi satu keberuntungan bagi artis lain yang selama belakangan ini menjadi bulan-bulanan di tayangan gosip infotaimen televisi.
Comments
Post a Comment